Mahkamah Agung Edisi 4 - page 66

64
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 4 Edisi Mei 2014
KEBEBASAN
dan kemandirian lembaga kekuasaan ke-
hakiman ditujukan agar badan peradilan (yudikatif) dapat
melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan
negara yang lain. Di samping itu juga untuk mencegah dan
mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan ke-
hakiman, terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah
(eksekutif), akan membuka peluang terjadinya penyalah-
gunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh
penguasa. Karena kekuasaan kehakiman yang secara kon-
stitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi
kontrol terhadap kekuasaan pemerintah menjadi sulit untuk
menjalankan fungsinya.
1
Independensi lembaga kekuasaan kehakiman harus
disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan kehor-
matan martabat hakim. Jika tidak, maka praktik penyele-
wengan yang dilakukan para mafia peradilan bisa berlin­
dung di balik independensi peradilan, sehingga para
hakim dan pejabat peradilan lainnya yang menyalahgu-
nakan jabatannya menjadi sulit tersentuh hukum. Prak-
tik mafia peradilan, terutama
judicial corruption,
2
men-
jadi sulit untuk diberantas jika para hakim yang nakal
berlindung di balik asas kemandirian atau independensi
kekuasaan kehakiman.
3
Martabat hakim dan lembaga peradilan merupakan
harga mati dalam sebuah penegakkan hukum. Tanpa
memiliki martabat, maka penegakan hukum tidak akan
1
Frans Magnis Suseno,
Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern
, Gramedia, Jakarta, hlm. 298-301 dalam
Antonius Sudirman,
Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu
Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral-
Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar
, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hlm. 78 dalam D.Y. Witanto, Diskresi Hakim,
Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif
, Alfabeta,
Bandung, hlm. 10-11
2
Judicial corruption
merupakan istilah bagi korupsi di lingkungan
badan peradilan, baik yang dilakukan oleh penyelenggara
peradilan dalam fungsi-fungsi mengadili maupun yang tidak
secara langsung berkaitan dengan fungsi mengadili namun dalam
lingkup institusi kekuasaan kehakiman, dalam D.Y. Witanto, dkk,
Peradilan Indonesia, Habis Gelap Terbutlah Terang, Otokritik Terhadap
Realitas Sisi Gelap Lembaga Peradilan
.
3
Bambang Sutiyoso,
Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan
Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan
, UII Pers, Yogyakarta, 2012, hlm.
6
mampu berjalan efektif. Untuk menjaga agar pengadilan
tetap memiliki martabat di mata masyarakat, maka para
penyelenggara peradilan, khususnya hakim sebagai aktor
utama, harus senantiasa terjaga sikap dan perilakunya di
dalam maupun di luar persidangan.
Tidaklah mudah untuk mengemban jabatan seorang
hakim. Sementara ia sendiri bukan sebagai makluk yang
sempurna tanpa dosa dan cela, ia harus menjaga marta­
batnya agar tetap berada di atas martabat orang yang
diadili. Ia harus memiliki moral dan spiritual yang lebih
baik dari orang yang diadili. Tidak bisa dibayangkan jika
seorang hakim yang tugasnya mengadili perbuatan orang
lain adalah seorang pribadi tercela yang tidak lebih baik
dari orang-orang yang diadilinya.
Jabatan hakim penuh dengan risiko dan tantangan.
Risiko terbesar tentunya adalah di hadapan Tuhan Yang
Maha Esa. Ia harus mempertanggungjawabkan sega-
la putusan yang ia jatuhkan. Sedikit saja ia salah dalam
menjatuhkan putusan, terlebih jika ia salah menghukum
orang yang tidak bersalah, maka siksa neraka yang pedih
telah menunggunya. Karena itu, sekali lagi, betapa amat
penting kebebasan dan kemandirian kekuasaan lembaga
kehakiman itu.
* Hakim pada Pengadilan Negeri Stabat, Sumatera Utara
Menjaga
Martabat Hakim
Oleh Sunoto*
KOLOM
Forum diskusi hakim di Hotel Alyla, Jakarta
1...,56,57,58,59,60,61,62,63,64,65 67,68,69,70,71,72,73,74,75,76,...84
Powered by FlippingBook