Mahkamah Agung Edisi 4 - page 67

Nomor 4 Edisi Mei 2014 –
MAHKAMAH AGUNG
65
KOLOM
Menanti Lahirnya
Hakim Ideal
Oleh Dr. Ronald Lumbuun, S.H. M.H.*
SANGAT
memprihatinkan banyaknya pemberitaan
negatif di pelbagai media tentang perilaku dan kinerja
aparat lembaga peradilan, khususnya para hakim. Mulai
dari peradilan tingkat pertama sampai dengan Mahkamah
Agung. Media massa tak salah. Mereka melaporkan reali-
tas. Terbukti memang para hakim melakukan pelbagai pe­
langgaran, baik etika maupun hukum. Mulai dari perseling-
kuhan hingga tindak pidana dalam berbagai bentuk yang
tidak selayaknya dilakukan oleh seorang hakim. Maka,
suka atau tidak, harus diakui bahwa lembaga peradilan
dewasa ini tengah mengalami dekadensi moral yang telah
mengarah kepada
judicial terror
.
Namun demikian, fenomena ini tidaklah dapat se-
cara serta-merta ditumpukan di atas pundak para hakim
semata. Paling tidak terdapat tiga hal yang dapat dilaku-
kan guna mengatasi kondisi tersebut, sehingga para hakim
dengan kualitas akademis dan integritas moral yang mak-
simal dapat segera dilahirkan. Pertama, pola dan sistem
rekutmen para hakim di keempat lingkungan peradilan
dan setiap tingkatan. Kedua, mekanisme pembinaan dan
pengawasan terhadap para hakim, baik internal mau-
pun eksternal. Ketiga, prioritas tingkat kesejahteraan dan
keamanan para hakim dalam menjalankan tugasnya se-
hari-hari.
Pola Rekrutmen Hakim
Berbeda pandangan dengan sementara orang yang
berpendapat bahwa reformasi peradilan harus dimulai
dari Mahkamah Agung sebagai puncak lembaga peradilan
di Indonesia (
top down system
), saya menilai reformasi
peradilan seharusnya dimulai dari bawah (
bottom up sys-
tem
) melalui pola seleksi penerimaan seseorang sebagai
calon hakim yang merupakan
entry point
bagi usaha un-
tuk mewujudkan cita-cita tersebut. Semangat reformasi
peradilan dapat diwujudkan dengan memiliki sumber
daya manusia (SDM) para hakim yang berkualitas dan
berintegritas moral tinggi melalui proses seleksi peneri­
maan cakim yang transparan, akuntabel, dan jauh dari
unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Apa-
bila sistem seperti ini dilakukan secara optimal, niscaya
harapan sebagian besar masyarakat akan lahirnya sebuah
peradilan yang berwibawa dapat segera terwujud.
Pasal 24 UUD 1945 telah mengamanatkan Mahkamah
Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi,
sehingga dalam hal ini Mahkamah Agung harus segera
mengambil langkah konkret melalui fungsi pengawas­
an internalnya terhadap panitia penyelenggara seleksi
penerimaan calon hakim tersebut dengan dibantu oleh
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal, ser-
ta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) untuk pemilihan para calon hakim agung dari jalur
non-karier.
Sistem Pembinaan & Pengawasan Hakim
Masih terdapatnya sistem pembinaan dan pengawasan
yang masih bersifat diskriminatif terhadap para hakim,
pada dasarnya juga bagian yang tidak dapat terpisahkan
dengan kondisi kewibawaan peradilan dewasa ini. Fak-
ta tersebut dapat dilihat dari belum dilakukannya sistem
pembinaan dan pengawasan secara merata. Sebut saja, sis-
tem pembinaan terhadap seorang hakim untuk mendapat-
kan pendidikan di luar negeri yang lebih didasarkan oleh
prinsip “
like or dislike
” daripada “
the right man on the right
place
”. Belum lagi pengawasan hanya dilakukan terhadap
orang-orang tertentu, sehingga pada gilirannya lembaga
Ahmad Zaky, Peringkat 10 Besar Diklat Calon Hakim
Mahkamah Agung
1...,57,58,59,60,61,62,63,64,65,66 68,69,70,71,72,73,74,75,76,77,...84
Powered by FlippingBook