Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Berita / Jumat, 10 Mei 2019 15:28 WIB / Ishmah Purnawati

KEPALA BIRO HUKUM DAN HUMAS HADIRI RAPAT PEMBAHASAN DIM RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DI KEMENTERIAN NEGARA PPA

KEPALA BIRO HUKUM DAN HUMAS HADIRI RAPAT PEMBAHASAN DIM RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DI KEMENTERIAN NEGARA PPA

Jakarta - Humas: Kepala Biro Hukum dan Humas MA-RI, Dr. Abdullah, S.H., M.S. didampingi oleh Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas D.Y. Witanto, S.H, dan Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. menghadiri rapat Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual pada Tanggal 10 Mei 2019 bertempat di Ruang Tjut Nyak Dien Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg-PPA).  Rapat tersebut di pimpin langsung oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dan dihadiri oleh Para Pejabat Eselon I dan Eselon II dari Kementerian dan Lembaga terkait.

Materi pembahasan rapat difokuskan pada substansi terkait hal-hal yang bersifat krusial dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjelang masa sidang di DPR yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Beberapa point yang menjadi isu penting antara lain: keterkaitan antara materi RUU dengan beberapa perundang-udangan lainnya seperti KUHP, KUHAP, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga tidak tumpang tindih karena dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga mengatur beberapa hal terkait ketentuan pidana dan hukum acara yang bersifat khusus. Selain itu rapat juga membahas tentang pengaturan jadwal serta mekanisme pembahasan, mengingat waktu yang tersedia sangat pendek sampai dengan akhir masa jabatan DPR, sedangkan RUU yang sedang dalam proses pembahasan jumlahnya cukup banyak.

Susbtansi dan ruang lingkup dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi tindakan Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, Penindakan Pelaku dan Rehabilitasi Korban dan  Pelaku. Kualifikasi kekerasan seksual yang diusulkan dalam RUU tersebut terdiri dari a. Pelecehan Seksual, b. Eksploitasi Seksual, c. Pemaksaan Kontrasepsi, d. Pemaksaan Aborsi, e. Perkosaan, f. Pemaksaan Perkawinan, g. Pemaksaan Pelacuran, h. Perbudakan Seksual dan/atau i. Penyiksaan Seksual.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA-RI menyampaikan beberapa masukan kepada forum antara lain bahwa “Mahkamah Agung mendukung prakarsa pembentukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, namun perlu diperhatikan terkait dengan korelasi antar norma dalam substansi RUU dengan ketentuan perundang-undangan yang lain. Dalam penggunaan istilah juga jangan sampai menimbulkan kerancuan karena nantinya akan menyulitkan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan undang-undang tersebut. Selain itu perlu dipertimbangkan kembali terkait pasal-pasal yang menentukan ketentuan pidana bagi penyidik, penuntut umum dan hakim yang lalai dalam melaksanakan kewajibannnya, karena norma tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017 dan dapat mengganggu independensi lembaga kekuasaan kehakiman”.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan kata penutup bahwa “semua kementerian lembaga terkait perlu mempersatukan kembali tekad bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera di sahkan dan sedapat mungkin pada Bulan September 2019 harus sudah di sahkan oleh DPR, agar secepatnya dapat menuntaskan persoalan kekerasan seksual yang marak terjadi di masyarakat”.

Selanjutnya akan dijadwalkan kembali rapat-rapat lanjutan untuk melakukan pembahasan secara lebih intensif dalam rangka penyempurnaan materi dan substansi RUU tersebut dengan melibatkan kementerian dan lembaga yang memiliki kaitan langsung dengan penegakan hukum, khususnya menyangkut penghapusan kekerasan seksual. (Dy/RS)




Kantor Pusat