Mahkamah Agung Edisi 3 - page 9

- No. 3 Edisi Desember 2013
|
7
SK KMA 119/2013:
Empat Lembar yang Membawa
Perubahan Besar
KAPAN
sebuah perkara di
Mahkamah Agung akan diputus?
Ini pertanyaan yang sangat sulit di-
jawab. Apalagi kalau jawaban yang
diinginkan harus menunjuk hari dan
tanggal tertentu.
Sulitnya mengetahui hari musya­
warah dan ucapan suatu perkara
yang ditangani MA dipicu oleh sistem
pemeriksaan perkara yang dianutnya.
MA menganut sistem pemeriksaan
berkas perkara secara bergiliran.
Diawali dari hakim agung Pembaca
1 (P-1), kemudian Pembaca 2 (P-2),
baru ditetapkan hari musyawarah
ucapan setelah berkas “berpindah”
ke Pembaca 3 (P-3, ketua majelis).
Sistem ini telah dianut sejak lemba-
ga kekuasaan kehakiman tertinggi di
negeri ini berdiri, 68 tahun yang lalu.
Dalam sistem membaca berkas
bergiliran, kecepatan suatu perkara
diputus sangat tergantung kepada
kecepatan anggota majelis menu-
angkan pendapatnya di adviseblad.
P-2 tidak bisa memberikan pendapat
apabila P-1 belum berpendapat. De-
mikian juga Ketua Majelis (P-3) be-
lum bisa menetapkan kapan perkara
yang ditanganinya tersebut dipu-
tus apabila P-2 belum memberikan
pendapatnya. Walhasil, jangka wak-
tu pemeriksaan perkara pun diliputi
ketidakpastian dan saling ketergan-
tungan.
Sebenarnya MA telah berupaya
meminimalisasi ketidakpastian waktu
pemeriksaan perkara dengan mener-
bitkan SK KMA 138/KMA/SK/IX/2008
tanggal 11 September 2009 tentang
Jangka Waktu Penanganan Perkara
di Mahkamah Agung. Dalam diktum
ketiga huruf C diatur jangka waktu
majelis hakim agung dalam meme­
riksa perkara.
Meskipun SK KMA tersebut te­
lah secara limitatif mengatur jangka
waktu bagi majelis hakim untuk me-
meriksa perkara, namun angka-ang-
ka yang menunjukkan batasan waktu
dalam aturan tersebut tidak berdaya
untuk memaksa majelis menyele-
saikan pendapatnya sesuai durasi
yang ditetapkan. Monitoring terhadap
kepatuhan pun terasa sangat sulit.
Bukan saja karena beban perkara
yang ditangani sangat tinggi (melam-
paui angka 20.000 per tahun), namun
juga pergerakan berkas dari P-1, P-2
dan P-3 tidak terekam oleh sistem in-
formasi. Selain itu, karena tidak ada
majelis tetap, kedudukan seorang
hakim agung dalam majelis pun ber-
beda untuk masing-masing perkara.
Dalam satu perkara, ia bisa menjadi
P-1 namun di perkara lain ia menjadi
P-2 bahkan P-3.
Wacana untuk mengubah sistem
memeriksa berkas
secara bergiliran pun
kerap dikumandang-
kan. Yang paling ge-
tol menyuarakannya
adalah
Kelompok
Kerja
Manajemen
Perkara,
sebuah
kelompok bentukan
Ketua
Mahkamah
Agung yang bertugas
melakukan kajian dan
evaluasi manajemen
perkara di MA dan
peradilan di bawah­
nya. Namun, wacana untuk mening-
galkan sistem membaca berkas
secara bergiliran kurang mendapat
respon dari para aktor pemutus per-
kara di MA. Hal ini bisa dipahami
karena membongkar sistem yang
sudah mapan—di mana pun—per-
lu ikhtiar yang luar biasa. Apalagi,
dengan sistem “membaca bersama”
para hakim agung harus menuang-
kan pendapatnya secara individual.
Ia tidak bisa sekedar menuliskan dua
huruf “CF”, untuk mengutarakan ke-
samaan pendapatnya dengan pem­
baca sebelumnya. Tentu hal ini cukup
merepotkan di tengah-tengah meng-
LAPORAN UTAMA
1,2,3,4,5,6,7,8 10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,...92
Powered by FlippingBook