Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Artikel / Rabu, 25 Oktober 2017 16:53 WIB / pepy nofriandi

KORUPSI BAGAI MELAWAN BADAI

KORUPSI BAGAI MELAWAN BADAI

Jakarta - Humas,  25-10-2017, Reformasi merupakan perubahan secara damai untuk melakukan perbaikan ( semua bidang )  dalam suatu masyarakat atau negara. Dinamika masyarakat dan akumulasi aspirasi-aspirasi yang tersumbat akan  mampu melahirkan dorongan menuju suasana dan tatanan baru di semua bidang. Dalam tataran normative reformasi merupakan gerakan perubahan secara damai dan  tanpa disertai dengan perusakan. Pada dasarnya konsep perubahan dalam reformasi adalah perubahan yang dikehendaki sendiri secara terencana dan bertahap. Dalam praktiknya reformasi yang terjadi hampir sama dengan revolusi dalam melawan rezim bahkan seperti melawan penjajahan sampai menimbulkan dendam sejarah.

Apabila diawali dari tahun 1998, maka reformasi telah berlangsung selama 19 tahun. Idealnya tatanan dan norma telah berubah serta perilaku sudah berubah. Meskipun peraturan perundang-undangan dan peran serta masyarakat  dalam  menentukan serta menjalankan roda pemerintahan telah berjalan. Faktanya masih ada sekelompok orang memiliki mindset dan culture set yang belum berubah. Reformasi bagaikan gelombang besar atau badai atau puting beliung  perubahan. Siapapun dan apapun akan diterjang, dan apabila mengikuti arah atau irama maka akan bertahan. Sebaliknya apabila diam, tidak berubah bahkan tetap berlawanan arah, maka pasti akan menjadi korban.

Fenomena menarik yang perlu disimak dalam penegakan tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan  sumber dari suara.com, 11 Agustus 2016 "Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 343 bupati / walikota dan 18 Gubernur tersandung korupsi," dari 343 kasus tersebut, 50 kasus di antaranya ditangani KPK. Sisanya  ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian. Berdasarkan Kompas, 19 September 2017, Sepanjang 2017 , ada 5 kepala daerah yang terjaring atas dugaan tindak pidana korupsi.  Berdasarkan Sindonews.com 12 Pebruari 2017 laporan ICW sampai dengan Pebruari 2017 terdapat 20 hakim (peradilan umum dan konstitusi), 6 di antaranya hakim tindak pidana korupsi (Tipikor). Data tersebut dapat dijadikan dasar untuk menyusun argumentasi atau membuat hipotesis, maraknya tindak pidana korupsi antara keberhasilan atau kegagalan pemerintahan.

Banyaknya oknum yang tertangkap melakukan tindak pidana korupsi dimanapun termasuk di lembaga peradilan, maka itu merupakan manifestasi keberhasilan dalam memberantas tindak pidana korupsi di dalam tubuh pemerintahan maupun badan peradilan. Semakin banyak oknum yang ditangkap, maka jumlah oknum nakal semakin habis. Semakin banyak orang yang bersih dan baik dalam pemerintahan dan lemaga peradilan, maka orang yang jahat akan tersingkirkan. Bagaikan semakin banyak orang yang sudah menggunakan pakaian putih, maka jika ada yang orang yang tetap berpakaian warna lain meskipun sembunyi akan kelihatan.

Tulisan ini bukan akan membandingkan pelaku tindak pidana korupsi, dilingkungan pemerintahan dan peradilan, antara hakim dan non hakim. Patut kita sadari semua orang dinegara manapun menghendaki hakim itu bersih, jujur dan berintegritas moral yang tinggi. Oleh sebab itu seorang saja hakim tertangkap melakukan korupsi maka sudah menggemparkan dunia dan seolah-olah langit akan runtuh. Jabatan hakim bukan profesi sekedar bekerja mencari penghasilan, melainkan profesi menjalankan tugas dengan jujur dan bersih. Semua komponen bangsa seharusnya turut menjaga kemandiriannya bukan sebaliknya menjadi penggoda menjatuhkan citra dan wibawanya. Reaksi masyarakat yang resisten dengan tindak pidana korupsi sepantasnya diberikan apresiasi karena sebagai wujud sosok masyarakat yang menghendaki hakim adalah bersih dan suci  layaknya wakil Tuhan di dunia.

Setiap orang selalu dan hanya berhenti sampai membenci , mencaci dan bahkan memaki-maki terjadinya tindak pidana korupsi. Seharusnya semua komponen bangsa mencoba menelusuri, melakukan diagnose serta mencari akar permasalahannya. Dialektika dalam mencari solusi lebih utama dari pada hanya berbantah-bantahan saling menyalahkan. Adakah mindset dan culture set yang salah ? Siapa yang disalahkan ? Bukankan korupsi dan suap tidak dapat dilakukan sendiri. Pelaku korupsi dan suap bukan hanya yang menerima saja, melainkan semua orang yang memiliki peran dalam perbuatan tersebut, antara lain pemberi dan perantara serta masyarakat yang membiarkan dan tidak mencegahnya. Perlukah  diperbaiki / amandemen semua peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi. 

Negara membutuhkan seorang pemimpin dan role model yang bersih, bukan sebaliknya pribadi pribadi yang menghendaki menjadi pemimpin negara. Konsekuensi logisnya jika negara membutuhkan pemimpin, maka semua biaya proses  menjadi tanggung jawab negara. Apabila pribadi pribadi yang menginginkan jadi pemimpin negara, maka segala upaya yang dilakukan demi mencapai keinginan menjadi pemimpin negara menjadi tanggung jawab sendiri. Akibatnya penyimpangan perilaku untuk menggapai keinginan tidak akan terhindarkan. Perbuatan korupsi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang maupun penyuapan , menjadi modus pengembalian modal dan investasi melanggengkan kekuasaan.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA RI. 

 




Kantor Pusat