STANDARISASI RUANG SIDANG PENGADILAN (STRADA DILAN) UNTUK MEWUJUDKAN LAYANAN PERSIDANGAN YANG BERMARTABAT, INKLUSIF, DAN BERKEADILAN
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar kekuasaan negara yang dikenal dengan istilah cabang kekuasaan di bidang yudikatif sebagaimana dimaksud dalam teori Trias Politica yang dicetuskan oleh Jhon Locke dan dikembangkan kemudian oleh Montesquieu. Konsep ini kemudian dijadikan sebagai landasan atau ciri negara hukum yang menjadi pilihan negara Indonesia. Cabang kekuasaan kehakiman diberikan kepada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagaimana amanat yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang diberikan kepada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dengan fondasi utama (core of business) pemberian kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara/sengketa baik dalam hukum pidana, hukum perdata, hukum agama, hukum tata usaha negara, yang lazim dengan sebutan kewenangan mengadili perkara/sengketa. Peran mengadili perkara/sengketa tersebut menjadi kekuasaan Hakim yang tidak dapat diwakilkan atau memiliki otoritas penuh sebagai peran pemberi keadilan dalam penyelesaian perkara/sengketa yang dalam konteks administratif kewenangannya diberikan untuk menciptakan atau membuat putusan yang disebut dengan istilah putusan hakim dan dalam hal ini menjadi indikator kinerja utama badan peradilan.
Kesan pertama terhadap pengadilan dapat dilihat dari jalannya persidangan yang di dalam ruang sidang pengadilan, bukan sekadar tempat berlangsungnya proses hukum, tetapi juga merupakan simbol nyata dari keadilan yang ditegakkan oleh negara. Ia adalah ruang sakral di mana hukum berbicara, kebenaran diuji, dan keadilan ditegakkan. Pandangan terhadap ruang sidang tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik dan arsitekturalnya, tetapi juga memiliki nilai-nilai filosofis, psikologis, dan sosiologis yang melekat di dalamnya. Dalam sistem hukum modern, pengadilan merupakan lembaga yang memiliki fungsi sentral dalam menegakkan keadilan, menyelesaikan sengketa, dan menjaga supremasi hukum. Salah satu elemen penting dalam proses peradilan adalah ruang sidang. Meskipun sering dipandang hanya sebagai tempat berlangsungnya persidangan, secara akademik ruang sidang memiliki makna yang lebih luas, baik secara normatif, simbolik, maupun sosial. Ruang sidang tidak hanya menjadi arena pelaksanaan hukum, tetapi juga representasi dari integritas, profesionalisme, dan wibawa lembaga peradilan. Secara simbolik, ruang sidang mencerminkan struktur dan otoritas dalam peradilan. Tata letak yang hierarkis, dengan posisi majelis hakim yang lebih tinggi dari para pihak, melambangkan supremasi hukum dan independensi yudikatif. Elemen-elemen seperti palu hakim, toga, dan lambang negara memperkuat legitimasi dan otoritas negara dalam menegakkan hukum. Hal ini sejalan dengan teori simbolik dalam sosiologi hukum yang menyatakan bahwa aspek-aspek visual dan ritual dalam ruang sidang memperkuat persepsi publik terhadap keadilan (Cohen, 2006).
Dari sudut pandang psikologis, ruang sidang memiliki dampak signifikan terhadap para pencari keadilan. Bagi pihak awam, suasana formal ruang sidang bisa menimbulkan tekanan, ketakutan, atau kecemasan. Oleh karena itu, penting bagi aparat peradilan untuk menciptakan suasana sidang yang tetap profesional namun inklusif. Secara sosiologis, ruang sidang adalah panggung sosial tempat berbagai kepentingan bertemu dan diuji oleh hukum. Peneliti seperti Habermas (1996) menyatakan bahwa ruang publik seperti pengadilan harus menjamin partisipasi rasional dan setara dari semua pihak. Perkembangan teknologi telah mendorong reformasi dalam sistem peradilan, termasuk perubahan dalam bentuk dan fungsi ruang sidang. Implementasi sistem e-court, persidangan secara daring/online court, serta digitalisasi dokumen hukum mengubah persepsi tradisional terhadap ruang sidang. Meskipun demikian, transformasi ini tidak boleh mengurangi esensi ruang sidang sebagai tempat yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan kata lain, digitalisasi harus dilihat sebagai alat, bukan pengganti dari nilai-nilai substantif peradilan.
Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab dalam menciptakan pelayanan peradilan yang berwibawa, profesional, dan berstandar nasional. Dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 216/KMA/SK.PL.1.2.2./X/2023 tentang Pedoman Standarisasi Tata Ruang, Sarana Prasarana, Prototipe Gedung Kantor Pengadilan di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya merupakan salah satu upaya konkret untuk mewujudkan standarisasi ruang sidang yang tidak hanya mendukung kenyamanan dan efisiensi proses peradilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan sumber daya nasional. Tetapi pada tataran Implementasi SK KMA 216/2023 tentang Pedoman Standarisasi Tata Ruang, Sarana Prasarana, Prototipe Gedung Kantor Pengadilan di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya belum dapat dipenuhi seluruhnya karena kondisi ruang sidang yang belum memenuhi standarisasi. Oleh karena itu, diperlukan terobosan melalui suatu inovasi dalam rangka mewujudkan Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan (Strada Dilan) pada empat lingkungan peradilan untuk mewujudkan layanan persidangn yang bermartabat, inklusif dan berkeadilan.
Tim Mahkamah Agung yang dipelopori oleh Edi Yuniadi sebagai Kepala Biro Keuangan Badan urusan Administrasi Mahkamah Agung sekaligus sebagai project leader pelaksanaan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XV yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia akan menyiapkan 3 (tiga) regulasi, yaitu Pedoman Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, Pedoman Pemanfaatan PNBP Mahkamah Agung untuk Mendukung Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, dan Penetapan Pilot Project Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Ketiga regulasi tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas layanan peradilan, meningkatkan kepercayaan publik, memberikan pengalaman beracara yang lebih baik terutama bagi kelompok rentan (perempuan, disabilitas, anak) sehingga Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan (Strada Dilan) dapat mewujudkan layanan persidangan yang bermartabat, inklusif, serta berkeadilan bagi masyarakat pencari keadilan maupun stakeholders pengadilan.