MAHKAMAH AGUNG RI DAN HOGE RAAD BELANDA BAHAS PENYELESAIAN SENGKETA KOMERSIAL DAN REFORMASI PENANGANAN PERKARA NARKOTIKA
Bogor - Humas: Masih dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia, Hoge Raad Belanda bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia membahas Penyelesaian Sengketa Komersial dan Reformasi Penanganan Perkara Narkotika pada Kamis (19/6) di Auditorium Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BSDK) MARI Bogor, Jawa Barat.
Kegiatan ini diejawantahkan dengan diskusi semi-publik bertajuk “Menjajaki Model Penyelesaian Sengketa Perdata dan Niaga yang Efisien dan Kompetitif: Refleksi dari Netherlands Commercial Court” yang menghadirkan Presiden Hoge Raad, Dineke de Groot, sebagai pembicara utama.
Dalam paparannya, De Groot menyampaikan praktik terbaik sistem hukum perdata Belanda yang menekankan kepastian hukum, transparansi, serta efisiensi waktu dan biaya. Ia memperkenalkan Netherlands Commercial Court (NCC) sebagai lembaga peradilan modern yang menangani perkara-perkara perdagangan internasional dalam bahasa Inggris, dengan prosedur yang terbuka dan fleksibel.
De Groot juga menjelaskan standar objektif dalam interpretasi kontrak, tanggung jawab direksi dalam dan di luar kepailitan, serta peran pengadilan dalam membangun kepercayaan dunia usaha terhadap sistem hukum.
Sesi ini diikuti oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Ketua Kamar Pidana, Ketua Kamar Perdata, pejabat kementerian terkait, organisasi profesi hukum, serta sekitar 200 peserta daring yang terdiri dari hakim dari berbagai wilayah di Indonesia.
Pada sesi kedua, Hakim Agung Hoge Raad, Tijs Kooijmans, menyampaikan materi berjudul “Meninjau Ulang Penanganan Perkara Narkotika: Pertukaran Indonesia–Belanda Menuju Pendekatan yang Proporsional dan Berbasis Keadilan.”
Kooijmans menekankan pentingnya diferensiasi antara pelaku dalam perkara narkotika, mulai dari pengguna hingga anggota jaringan terorganisir. Dalam sistem hukum Belanda, pendekatan pemidanaan bersifat proporsional, kontekstual, dan berbasis pada pemulihan, bukan sekadar retributif.
Ia juga menyoroti pentingnya konsistensi dalam penjatuhan pidana melalui pedoman peradilan dan faktor-faktor pemberat maupun yang meringankan. Selain itu, dijelaskan bahwa penyitaan aset dalam perkara narkotika dilakukan secara paralel dengan proses pidana dengan tetap menjunjung asas praduga tidak bersalah.
Diskusi ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, Kejaksaan, Bareskrim Polri, serta organisasi masyarakat sipil.
Setelah sesi diskusi, delegasi Hoge Raad melanjutkan kegiatan dengan kunjungan ke Museum Mahkamah Agung RI di Jakarta.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kunjungan kerja tanggal 15–21 Juni 2025, yang bertujuan memperkuat kerja sama kelembagaan antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Kerajaan Belanda dalam mewujudkan peradilan yang independen, akuntabel, dan adaptif terhadap tantangan global. (azh/RS/photo:Sno)