Mahkamah Agung Edisi 6 - page 60

58
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 6 Edisi Desember 2014
e
.
do
KOLOM
PERCEPATAN
penyelesaian perkara di Mahkamah
Agung (MA) dewasa ini cukup membanggakan. Keadaan
perkara per September 2014, seperti dilaporkan kepani­
teraan MA, dari sisa tahun 2013 dan tambahan 9.091
perkara selama Januari–September 2014, berhasil diputus
9.761 perkara, sehingga sisa hanya 5.745 perkara.
Kemajuan kuantitas ini patut diapresiasi. Namun hal
itu perlu diimbangi dengan kemajuan kualitas. Seperti
dikatakan Ketua Mahkamah Agung RI, Dr. H. M. Hatta
Ali, S.H., M.H., pada saat membuka Rapat Pleno Mah-
kamah Agung RI tanggal 9-11 Oktober 2014 di Bandung,
“penyelesaian perkara yang telah berhasil dilakukan secara
cepat hendaknya dapat pula dilakukan dengan penciptaan
putusan yang berkualitas (baik)”. Artinya, penyelesaian
perkara secara kuantatitas dan kualitas harus berjalan se-
cara paralel.
Penilaian Ketua MA ini hendaknya menjadi perha-
tian semua kalangan penyelenggara peradilan (hakim
dan panitera) sehingga pencapaian terwujudnya lembaga
peradilan yang agung dapat dicapai lebih cepat dari tar-
get yang ditentukan. Penyelesaian perkara secara cepat
dan pembuatan putusan yang berkualitas (baik) adalah
sebuah keniscayaan.
Sinkronisasi Pertimbangan Hukum
Agar dapat diangkat derajatnya sebagai yurisprudensi
yang berkualitas baik, putusan hakim harus dikembalikan
pada
ratio decidendi
yang memuat “dasar-dasar hukum”
sebagai landasan pertimbangan hukum yang aktual dan
rasional, di samping
obiter dicta
selaku pertimbangan pe-
lengkap.
Berkaitan erat dengan
jucial review
(pengujian un-
dang-undang) di Mahkamah Konstitusi (MK), sinkroni­
sasi putusan MK dalam penyelenggaraan peradilan ada-
lah suatu kenicayaan. Putusan MK itu bersifat
final and
binding
, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum
tetap dan mengikat sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh terhadapnya. Dan putusan
MK itu merupakan sumber hukum yang menjadi dasar
suatu putusan hakim atau pengaturan lainnya.
Ada tiga putusan MK yang sangat perlu dipertimbang-
kan untuk sinkronisasi.
Pertama,
perbuatan melawan
hukum menurut Pasal 2 UUPTPK.
Kedua,
permohonan
peninjauan kembali (PK) menurut Pasal 268 ayat (1) KU-
PUTUSAN CEPAT dan BERKUALITAS
HAP. Dan
ketiga,
kasasi terhadap putusan bebas menurut
ketentuan Pasal 244 KUHAP.
Perbuatan Melawan Hukum
Pada putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tentang si-
fat melawan hukum materiil dalam perkara pidana terkait
dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tin-
dak Pidana Korupsi (UUPTPK), MK memutuskan bah-
wa pengertian melawan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK tidak mem-
punyai kekuatan hukum mengikat. Unsur melawan hu-
kum dalam UUPTPK diartikan melawan hukum secara
formal, yakni perbuatan subjek hukum yang secara jelas
tercantum dalam ketentuan perundang-undangan sesuai
dengan prinsip
nullum crimen sine lege scripta.
Setelah keluarnya putusanMK, diperlukan kreasi hakim
untuk penerapannya dalam perkara
in concreto.
Sifat me­
lawan hukum menurut Pasal 2 ayat (1) hendaknya dibaca
melawan hukum dalam arti formal saja. Selanjutnya di-
jelaskan pengertian melawan hukum formal menurut dok-
trin atau pandangan ahli yang relevan. Misalnya, dengan
mengutip pandangan ahli bahwa ajaran melawan hukum
Prof. Dr. Moh. Askin, S.H.
Prof. Dr. Moh. Askin, S.H.*
1...,50,51,52,53,54,55,56,57,58,59 61,62,63,64,65,66,67,68,69,70,...80
Powered by FlippingBook