Mahkamah Agung Edisi 2 - page 47

WAWANCARA
- No. 2 Edisi September 2013
|
45
orang lain meragukan kita dengan tiga tugas pelengkap yang
baru. Namun ternyata capaian kita di luar perkiraan. Tahun
ini, saya mendengar dari Sekretaris MA bahwa kita sudah
mencapai penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Itu
berarti lepas dari masalah. Secara sederhana saya katakan,
sekarang kita sudah merdeka
Merdeka, maksudnya bagaimana?
Merdeka dari hal yang negatif, dari temuan ”ini” dan
”itu”. Tidak ada yang mengatakan ”ini” dan ”itu”. Dari segi
anggaran kita juga betul-betul merdeka. Kalau sudah WTP,
kita sudah optimal. Dengan tenggang waktu delapan ta-
hun, kawan-kawan yang bekerja di bidang ini betul-betul
berjalan di atas sebuah sistem, berjalan di atas sebuah rel.
Ada kesamaan dan ada tujuan yang sama.
Meski begitu, dari segi non-yudisial masih banyak
yang perlu diselesaikan. Misalnya, perpustakaan. Apa-
kah perpustakaan di sini sudah tersambung secara online
dengan perpustakaan perguruan tinggi? Itulah yang harus
disempurnakan. Contoh lain, gedung diklat kita sekarang
sebetulnya yang terbaik di Asia Tenggara. Malah orang
Australia, Amerika, dan Belanda menganggap gedung
diklat di MA lebih baik daripada diklat di negaranya. Ting-
gal sekarang bagaimana agar muatan-muatannya menjadi
yang terbaik. Bagaimanapun juga diklat berperan untuk
membina SDM. Dan kita ini kan pengadilan, jadi yang pa­
ling utama itu adalah hakim. Baru kemarin kita menyele-
saikan pola pendidikan hakim terbaru dua tahun. Ini berha-
sil dengan baik, terutama dari segi moralitas para hakim.
Dalam dua tahun itu mereka tanpa pengawasan
langsung dari Mahkamah Agung. Mereka cuma diawasi
para ketua pengadilan. Ternyata, dalam laporannya tidak
ada yang terkena masalah ini atau itu. Ini satu poin lagi
bagi Mahkamah Agung dari segi SDM.
Kesejahteraan hakim agung sudah memadai.
Bagaimana dengan pegawai non-hakim?
Ini dalam proses. Maklum, kondisi keuangan negara
sedang begini. Tapi komitmen DPR, Insya Allah, pada ang-
garan yang akan datang itu diprioritaskan.
Diprioritaskan menuju kenaikan 100%?
Ya. Pertama menuju kenaikan remunerasi 70 persen
dulu. Kalau 100 persen, pelaksanaan reformasi birokrasi
harus bagus dulu. Tapi dengan 70 persen yang diterima
Eselon III di sini nominalnya mungkin akan sama dengan
yang diterima Eselon III di BPK. Hampir sama. Sekarang,
yang diterima oleh Eselon III atau Eselon II Mahkamah
Agung berbeda dengan yang diterima eselon yang sama di
BPK dan yang lainnya. Dari segi nominal, kita paling kecil,
padahal sama-sama Eselon III, II, atau I. Memang masa­
lahnya berbeda sekali. Karena apa? Bukannya pemerin-
tah tidak memberikan hak yang sama. Cuma, sebelumnya
Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung,
Hakim Agung, itu dulu yang dimasukkan dalam komponen
remunerasi, baru kemudian Eselon I. Kalau di departemen
lain, Eselon I itu grade 1, sedang di kita grade 5. Tapi kalau
sudah ada remunerasi, hakimnya sudah menjadi pejabat
negara, maka Eselon I menjadi sama dengan instansi lain,
menjadi grade 1, sehingga naik dengan sendirinya, sama
dengan BPK. Aturannya memang begitu.
Ada kendala serius dalam mewujudkan tar
1...,37,38,39,40,41,42,43,44,45,46 48,49,50,51,52,53,54,55,56,57,...76
Powered by FlippingBook