Mahkamah Agung Edisi 2 - page 53

BUKU
- No. 2 Edisi September 2013
|
51
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001,
ada tiga cara perampasan aset hasil tindak pidana yang
menimbulkan kerugian keuangan negara. Yakni, peram-
pasan melalui jalur pidana, jalur gugatan perdata, dan UU
8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Jalur pertama, peram
pasan aset berdasarkan sistem
hukum pidana, harus melalui putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Ca-
ranya konvensional, hasilnya juga begitu-begitu saja. Terbukti
dari beberapa putusan pengadilan yang dianalisis oleh penulis,
pendekatan hukum pidana yang didasarkan pada adanya ke-
salahan terdakwa tidak efektif. Ini akibat sulitnya pembuktian
dalam pidana, yaitu pembuktian mencari kebenaran materiil.
Demikian juga halnya dengan pendekatan hukum
perdata konvensional. Hasilnya tidak maksimal, karena
proses perdata menganut sistem pembuktian formal. Da-
lam prakteknya, pembuktian formal malahan bisa lebih
sulit daripada pembuktikan material.
Jadi, mekanisme pengembalian aset tindak pidana
yang berlaku saat ini di Indonesia belum memadai. Kare-
na itu, perlu adanya ketentuan khusus yang mengatur­
nya. Tanpa upaya merampas hasil dan instrumen tindak
pidana, maka kegiatan mengungkap tindak pidana de­
ngan pendekatan konvensional tidak cukup efektif untuk
menekan tingkat kejahatan.
Sebenarnya, dalam UU 31/1999 (+ UU 20/2001)
sudah ada ketentuan mengenai pembalikan beban pem-
buktian terhadap perolehan harta kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilan. Jika terdakwa tidak dapat
membuktikan sumber tambahan kekayaannya, maka hal
itu dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti tentang
tindak pidana korupsi yang telah dilakukan terdakwa. Na-
mun, ketentuan pembuktian terbalik tersebut dilakukan
dalam proses perkara pidananya dan dikaitkan dengan
proses pidana itu sendiri. Dan apabila terdakwa dibebas-
kan dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
benda harus ditolak oleh hakim.
Menurut penulis buku, ada beberapa faktor peng-
hambat UU 31/1999 (+ UU 20/2001). Pertama, kewenang­
an jaksa dalam kaitan dengan penyitaan terhadap harta
terpidana belum secara tegas diatur. Kedua, bentuk dan
batasan harta yang dapat disita oleh jaksa juga belum
diatur secara terinci. Ketiga, belum ada aturan rinci me­
ngenai mekanisme pembuktian terbalik dalam rangka pe­
rampasan aset.
Untungnya, untuk mengatasi persoalan tersebut, ter-
dapat terobosan baru mengenai mekanisme perampasan
aset hasil kejahatan korupsi. Sumbernya adalah United
Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003),
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam
UU 7/2006. Di situ ada aturan mengenai penelusuran,
penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak
pidana, termasuk kerja sama internasional dalam rangka
pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana. Itulah
yang dikenal dengan sebutan Non-Conviction Based
(NCB) Asset Forfeiture.
Efektivitas NCB Asset Forfeiture
Menurut penulis, kebijakan hukum perampasan aset
tanpa tuntutan pidana (NCB Asset forfeiture) dapat digu-
nakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi per-
ampasan aset tindak pidana. Sebab, kebijakan hukum
tersebut membuka kesempatan luas untuk merampas se-
gala aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana
serta aset lain yang terkait.
Dengan mekanisme ini, adanya putusan peng­
adilan bukan lagi prasyarat yang harus dipenuhi guna
melakukan perampasan. Terbuka kesempatan luas untuk
merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pi-
dana dan aset-aset lain yang digunakan sebagai sarana
untuk melakukan tindak pidana.
Mekanisme baru ini juga dapat digunakan sebagai
alternatif untuk memperoleh kompensasi atas kerugian
negara. Sekalipun ada hasil korupsi yang baru ditemukan
di kemudian hari – maka tidak tercantum dalam daftar
aset yang dapat dirampas berdasarkan putusan pidana
yang sudah
inkracht
– aset itu tetap dapat dirampas.
Adanya ketentuan mengenai perampasan aset tanpa
tuntutan pidana mengatasi kendala pengembalian aset
melalui sebuah mekanisme. Dengan mekanisme itu, pe­
rampasan aset hasil pidana tetap dapat dilakukan, walau-
pun tersangka atau terdakwa meninggal sebelum adanya
putusan pidana terhadapnya, sakit permanen, melarikan
diri, atau tak diketahui keberadaannya. Begitu juga dalam
kasus pelaku tindak pidana yang semasa hidupnya be-
gitu berkuasa sampai-sampai penyelidikan kriminal atau
penuntutan tidak mungkin dilakukan.
Dengan mekanisme NCB Asset Forfeiture, penyitaan
1...,43,44,45,46,47,48,49,50,51,52 54,55,56,57,58,59,60,61,62,63,...76
Powered by FlippingBook