Mahkamah Agung Edisi 2 - page 62

KOLOM
- No. 2 Edisi September 2013
60
|
Menuju Sistem Hukum
Pro-Penyandang Diffabilitas
Oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.*
HAK
asasi manusia adalah hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia. Hak itu bersifat univer-
sal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati,
dan dipertahankan.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang ber-
dasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Konstitusi negara sudah tepat dan benar berkomit-
men menjamin hak yang sama bagi warga negara. Akan
tetapi pada kenyataannya warga negara lahir ke dunia ti-
dak mempunyai nasib yang sama. Ada yang lahir normal,
sempurna jasmani dan rohaninya. Ada pula yang lahir tidak
normal, dalam arti tidak sempurna jasmani dan rohaninya.
Bagi yang lahir tidak normal, tentu mereka tidak minta
untuk lahir seperti itu, dan dalam menjalani hidup pun me­
reka tidak minta dikasihani, karena sesungguhnya mereka
terlahir sudah sesuai dengan fitrahnya, dan oleh Tuhan
dianugerahi kemampuan yang berbeda. Oleh sebab itu
penyebutan nama (nomenklatur) bagi mereka yang terla-
hir tidak normal adalah kelompok “diffabilitas” (beda ke-
mampuan). Dahulu mereka disebut “disabilitas” (kurang
mampu). Sebelumnya kebanyakan orang menyebutnya
penyandang cacat, tetapi sebutan ini sudah ditinggalkan
karena terkesan tidak manusiawi.
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan,
dan memenuhi hak-hak penyandang diffabilitas, Pemerin-
tah RI telah membentuk berbagai peraturan perundang-un-
dangan mengenai perlindungan terhadap penyandang
diffabilitas. Salah satu bentuk komitmen Pemerintah ada-
lah dengan menandatangani Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di
New York. Kemudian, konvensi tersebut telah diratifikasi
dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Kon-
vensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Dalam konvensi tersebut, penyandang disabilitas, yai-
tu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelek-
tual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat-
nya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan
hak. Oleh karena itu, diskriminasi berdasarkan disabilitas
merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang
melekat pada setiap orang. Dengan demikian, yang ha-
rus dilakukan Negara adalah pemberdayaan penyandang
diffabilitas, perbaikan lingkungan penunjang, termasuk in-
frastruktur dan mekanisme, serta peningkatan kepedulian
dan sensitivitas masyarakat untuk menghilangkan stigma
negatif menuju kesetaraan martabat.
Charity-based Approach
Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan
dan Rehabilitasi Sosial terus berupaya untuk mensosial-
isasikan para penyandang cacat agar dapat diterima baik di
instansi pemerintah maupun swasta yang lebih mengede-
pankan kredibilitas dan kemampuan dalam menjalankan
pekerjaan tanpa memandang faktor fisik, mengingat jum-
lah penyandang cacat di Indonesia semakin meningkat.
Data Pusdatin Depsos tahun 2008 jumlah penyandang
cacat sebanyak 1.554.184 jiwa, faktor ini sangat menjadi
perhatian cukup besar dari pemerintah.
Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dr.
Makmur Sunusi, PhD, paradigma penanganan masalah
kecacatan dan penyandang cacat telah bergeser dari
pendekatan berdasarkan belas kasihan (Charity Based
Approach), yakni pendekatan yang lebih mengedepankan
pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Ap-
proach) ke pendekatan ini sudah tentu perlu dikembang-
kan untuk meningkatkan terobosan-terobosan yang berpi-
hak pada penyandang cacat.
Perlindungan Hukum
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum ter-
hadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para pe­
nyandang diffabilitas, di samping dengan Undang-Undang
1...,52,53,54,55,56,57,58,59,60,61 63,64,65,66,67,68,69,70,71,72,...76
Powered by FlippingBook