Mahkamah Agung Edisi 2 - page 66

Dengan perluasan kompetensi Peratun, perlu ada­
nya harmonisasi dan sinkronisasi bagi UU Peratun tentang
bagaimana cara menguji tindakan administrasi dari badan
atau pejabat Administrasi Pemerintahan apabila dikaitkan
dengan kompetensi absolut PTUN terhadap keputusan tata
usaha negara. Demikian juga, pengertian keputusan TUN
menurut UU Peratun lebih sempit daripada keputusan admi­
nistrasi pemerintahan yang diatur dalamRUUAP. Dan dalam
UU Peratun belum diatur prosedur permohonan ada tidaknya
penyalahgunaan wewenang kaitannya dengan perkara pi-
dana (korupsi).
Dukungan DPR untuk optimalisasi Peranan
PTUN
Kompetensi PTUN dalam sistem peradilan kita ma-
sih relatif kecil. Volume perkara PTUN masih ada yang
di bawah 25 perkara per tahun, seperti di PTUN Banda
Aceh, Bengkulu, Kupang, Palangkaraya, dan Yogya-
karta. Hal ini menunjukkan belum optimalnya peranan
PTUN sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap peme­
rintah.
Adanya upaya pemerintah mereformasi birokrasi
dengan merancang RUU-AP kiranya mendapat dukung­
an dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerbitkan UU
Administrasi Pemerintahan yang akan memperluas kom-
petensi PTUN. Dengan demikian, eksistensi peradilan
tata usaha negara akan dapat lebih bermanfaat bagi pe-
merintah maupun masyarakat.
Setelah RUU-AP menjadi UU-AP, hal itu perlu ditin-
daklanjuti dengan penyelarasan menyangkut kompeten-
si mengadili PTUN. Tidak kalah pentingnya, juga harus
dipersiapkan Sumber Daya Manusia, terutama hakim
peratun yang mempunyai kemampuan menangani per-
luasan kompetensi PTUN.
Sekarang sudah ada 28 PTUN di 28 propinsi. Masih
perlu dibentuk minimal 6 PTUN baru di 6 propinsi, yakni
Gorontalo, Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka-Belitung,
Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Sedang-
kan untuk tingkat banding minimal ada tambahan pemben-
tukan 2 PTTUN.
*) Penulis, Hakim Tinggi/Direktur Pembinaan
Tenaga Teknis dan Administrasi Peradilan Tata
Usaha Negara pada Ditjen Badilmiltun MARI.
- No. 2 Edisi September 2013
|
1
KOLOM
Selayang Pandang UU Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pi-
dana Anak (SPPA) yang diundangkan pada tanggal 30 Juli
2012 (TLNRI 2012-153) merupakan pengganti UU Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang efektif mulai
berlaku 2 (dua) tahun setelah tanggal diundangkan. Apabila
ditelusuri, alasan utama penggantian UU tersebut adalah
UU Nomor 3 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena
secara komprehensif belum memberikan perlindungan ke-
pada anak yang berhadapan dengan hukum.
Dikaji dari perspektif masyarakat internasional terhadap
perlindungan hak-hak anak, antara lain terlihat dari adanya
Resolusi PBB 44/25 –
Convention on the Rights of
the Child (CRC) (diratifikasi dengan Keppres 36
Tahun 1990), Resolusi PBB 40/33 – UN Stan­
dard Minimum Rules for the Administrations of
Juvenile Justice (The Beijing Rules), Resolusi
PBB 45/113 – UN Standard for the Protection
of Juvenile Deprived of Their Liberty, Resolusi
PBB 45/112 – UN Guidelines for the Prevention
of Junivele Delinquency (The Riyadh Guidelines)
dan Resolusi PBB 45/110 – UN Standard Min­
imum Rules for Custodial Measures 1990 (The
Tokyo Rules).
Hal demikian didasarkan pada pemikiran bahwa anak
merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia se­
utuhnya. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan
sebuah bangsa dan negara.
Dengan peran anak yang penting ini, hak anak telah
secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD
NRI 1945 hasil amandemen. Dikatakan bahwa
Negara
menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
- No. 2 Edisi September 2013
64
|
1...,56,57,58,59,60,61,62,63,64,65 67,68,69,70,71,72,73,74,75,...76
Powered by FlippingBook