Mahkamah Agung Edisi 2 - page 68

berikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan
peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu
juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pe­
langgaran administratif dalam penyelenggaraan
SPPA yang tentu memberikan dampak negatif
terhadap pejabat-pejabat khusus yang menye­
lenggarakan SPPA. Dampak negatif tersebut
adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yak­
ni berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam
penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu
perkara. Hal demikian menimbulkan ketidak­
pastian hukum dan ketidakadilan yang berarti
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 dan kontra produktif dengan maksud un­
tuk menyelenggarakan SPPA dengan diversinya
secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan
restoratif.
Kriminalisasi pasca Putusan MK
Sebenarnya, pasca putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 110/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013, ketentuan
UU SPPA masih menimbulkan beberapa pertanyaan.
Pertama, yang dibatalkan karena bertentangan den-
gan UUD NRI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat serta dilakukan judicial review
adalah ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA. Lalu,
bagaimana implikasinya terhadap ketentuan Pasal 98, 99
yang mengatur kriminalisasi terhadap penyidik dan penun-
tut umum sebagai satu kesatuan dalam integrated
crimi­
nal justice system?
Aspek dan dimensi ini sebenarnya selintas telah
disinggung dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada
butir (3.14) halaman 120, akan tetapi sayangnya lebih lan-
jut tidak dipertimbangkan dalam ratio decidensi yang ber-
bunyi sebagai berikut:
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian
tersebut, maka permasalahannya adalah apa­
kah ketentuan ancaman pidana kepada hakim
dan pejabat pengadilan sebagai pejabat khu­
sus dalam penyelenggaraan SPPA dalam Pasal
96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 ber­
tentangan dengan UUD 1945, dan bagaimana
pula dengan pejabat khusus yang lain dalam
pasal tersebut, yaitu penyidik dan penuntut
umum anak dalam SPPA.
Aspek dan dimensi “bagaimana pula dengan pejabat
khusus yang lain dalam pasal tersebut, yaitu penyidik dan
penuntut umum anak dalam SPPA” sebenarnya selesai
apabila Mahkamah Konstitusi mau melakukan ultra petita
sebagaimana lazim dilakukannya, terlebih lagi “pintu ma-
suk” terhadap ultra petita tersebut ada, yaitu dalam per-
mohonan a quo dimintakan juga melalui
asas aquo et
bono.
Kedua,
putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
ketentuan Pasal 96 UU SPPA dibatalkan dan tidak mempu-
nyai kekuatan hukum mengikat. Problemanya, ketentuan
Pasal 96 UU SPPA juga berhubungan dengan ketentuan
Pasal 7 ayat (1) tentang diversi. Pertanyaannya adalah,
pasca berlaku efektifnya UU SPPA tahun 2014, apakah
masih mungkin dilakukan diversi dalam perkara anak atau-
kah tidak.
Terlepas dari persoalan tersebut di atas, ternyata
Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara tersebut se-
cara tepat, benar dan adil serta pula telah menempatkan
independensi hakim dan peradilan sesuai dengan kerang-
ka Negara Hukum menurut UUD NRI 1945.
KOLOM
- No. 2 Edisi September 2013
66
|
1...,58,59,60,61,62,63,64,65,66,67 69,70,71,72,73,74,75,76
Powered by FlippingBook