Mahkamah Agung Edisi 2 - page 67

Kriminalisasi Hakim dalam UU no.
11 Tahun 2012 pasca-Putusan MK
atas perlindungan dari kekerasan dan diskrimi­
nasi.
Pengaturan mengenai hak-hak anak tersebut kemu-
dian diwujudkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Kriminalisasi Hakim dalam UU Nomor
11 Tahun 2012
UU SPPA mengatur ketentuan pidana bagi hakim dan
pejabat pengadilan yang terdapat ketentuan Pasal 96,
Pasal 100, dan Pasal 101. Terhadap perumusan norma
kriminalisasi hakim dan pejabat pengadilan ini, ada beber-
apa catatan penting yang dapat dijadikan bahan renungan
serta atensi, yaitu:
Pertama,
rumusan ketentuan pasal tersebut, apabi-
la dilihat dari perspektif labeling, terlihat bahwa pembentuk
UU telah memberi label terhadap perbuatan hakim dan
pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melak-
sanakan kewajibannya (menjalankan prosedur hukum
acara) sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Kon-
sekuensi logisnya, terlihat jelas keputusan pembentuk
UU melakukan kriminalisasi dalam melaksanakan tugas
justisialnya tidak lagi diorientasikan pada kebijakan (policy
oriented approach) maupun pada nilai (value judgment ap-
proach), melainkan lebih ditekankan pada penilaian emo-
sional (the emosionally laden value judgment approach).
Kedua,
implikasi politik kriminalisasi dalam Pasal
100 UU SPPA pada hakikatnya merupakan perbuatan
yang dapat dikategorisasikan bersifat diskriminatif, seh-
ingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (2)
UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak be-
bas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dari perspektif
normatif, atas dasar ketentuan hukum acara pidana yang
berlaku (ius constitutum), apabila hakim melakukan pena­
hanan terhadap terdakwa anak, kemudian masa pena­
hanan tersebut telah berakhir, maka terdakwa anak de­
ngan sendirinya harus dikeluarkan demi hukum.
Ketiga,
implikasi politik kriminalisasi dalam Pasal
101 UU SPPA melanggar Prinsip Indepedensi Peradilan
dan Independensi Hakim, sehingga bertentangan de­
ngan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 24 ayat (1) UUD NRI
1945. Terhadap hakim yang dengan sengaja melakukan
pelanggaran prosedural hukum acara pidana formil anak
mengenai kewajiban “pemberian petikan putusan pada
hari putusan diucapkan” dalam rumusan ketentuan Pasal
101 juncto Pasal 62 ayat (1) UU SPPA, yang dipaksakan
melalui perspektif hukum pidana tersebut, dikenakan se-
cara kumulatif 2 (dua) jenis ancaman sekaligus, yaitu sank-
si pidana dan sanksi administratif (ketentuan Pasal 95 UU
SPPA).
Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012
Terhadap kriminalisasi tersebut, Ikatan Hakim Indo-
nesia (Ikahi), melalui Ketua Umumnya Dr. H. Mohammad
Saleh, S.H., M.H. beserta pengurus IKAHI lainnya, lalu
menunjuk Teguh Satya Bakti, Rr. Andy Nurvita, dan penulis
sendiri selaku kuasa hukum untuk melakukan permohonan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohon-
an tersebut, maka Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan
Nomor 110/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013, menya-
takan bahwa ketentuan Pasal 96, 100 dan 101 UU SPPA
bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi
pada (3.18) halaman 122 menyebutkan bahwa:
Menimbang, Pasal 96, Pasal 100, dan Pa­
sal 101 UU 11/2012 yang menentukan ancaman
pidana kepada pejabat khusus dalam penye­
lenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat peng­
adilan, penyidik, dan penuntut umum, menurut
Mahkamah, bukan saja tidak merumuskan
ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai
kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan inde­
pendensi pejabat khusus yang terkait (hakim,
penuntut umum, dan penyidik anak), yakni mem­
Oleh Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
KOLOM
- No. 2 Edisi September 2013
|
65
1...,57,58,59,60,61,62,63,64,65,66 68,69,70,71,72,73,74,75,76
Powered by FlippingBook