Nomor 5 Edisi September 2014 –
MAHKAMAH AGUNG
–
31
LAPORAN KHUSUS
langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian
masalah anak, berbeda dengan cara penanganan orang
dewasa.
Semua itu dilatarbelakangi peningkatan kesadaran
bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Masa anak-
anak adalah periode yang rentan kondisi kejiwaannya. Ia
belum mandiri, juga belum memiliki kesadaran penuh.
Kepribadiannya belum stabil atau belum terbentuk secara
utuh. Dengan kata lain, keadaan psikologinya masih labil,
tidak independen, dan gampang terpengaruh.
Dalam kondisi demikian, perbuatan anak tidak sepe-
nuhnya dapat dipertanggungjawabkan kepada anak itu
sendiri. Sebab, anak sebagai pelaku
bukanlah sebagai
pelaku murni,
melainkan juga sebagai
korban
. Maka
anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan
jika ada jalan yang lebih baik
demi kepentingan terbaik
bagi anak
(
For the best interest of the child
).
Retributive Justice
Pada dasarnya hati dan perilaku seorang anak itu putih
bersih, tetapi lingkungan internal dan eksternal memberi-
kan kontribusi paling efektif pada pembentukan pola pikir
dan perilaku, maka anak tersebut dapat melakukan tindak
pidana. Contoh faktor internal adalah kurang harmonis
nya keluarga, keadaan
broken home
, dan masalah ekonomi
keluarga. Adapun faktor eksternal, misalnya kecanggihan
teknologi informasi membuat anak-anak saat ini sangat
mudah mengakses informasi yang menyimpang, yang
tidak seharusnya mereka akses tanpa pendampingan
orang tua atau guru, hingga akhirnya anak terpengaruh
dan melakukan perbuatan melanggar hukum.
Seperti telah dijelaskan di atas, seorang anak yang
melakukan perbuatan pidana ialah juga korban, korban
dari segala kemungkinan, baik dari
inner cyrcle
atau
outer
cyrcle
anak tersebut.
Bagi saya pribadi yang sudah puluhan tahun men-
jadi penegak hukum, rasanya kurang pas apabila saya
menerapkan
retributive justice
kepada anak-anak pelaku
tindak pidana. Titik berat
retributive justice
adalah pem-
balasan dan efek jera melalui “penjara”. Padahal, fakta
membuktikan, ketika anak yang berhadapan dengan hu-
kum divonis penjara, hasilnya akan seperti contoh di atas.
Awalnya mencuri bebek, lalu ketika keluar dari penjara,
dia mencuri motor bebek.
Restorative Justice
Restorative justice
adalah penanganan anak berhadap
an dengan hukum dengan melibatkan orang tua dan para
DAMAI DI STABAT
Dalam menangani perkara anak, salah satu pengalaman yang paling berkesan
saya alami di Stabat, Sumatera Utara. Perkaranya perkara asusila. Pelakunya anak 13
tahun kelas 5 SD, korbannya anak yang lebih muda. Ketika itu, keributan yang terjadi
di luar persidangan sudah menuju anarkisme. Masyarakat dari kampung terdakwa ber
hadapan dengan masyarakat dari kampung korban.
Dalam keadaan seperti itu, saya mengusahakan mediasi penal, dihadiri oleh pela
ku, orang tua pelaku, korban/orang tua korban, hakim anak, jaksa anak, PK Bapas,
penasihat hukum dan Tim Komisi Perlindungan Anak Indonesia daerah Langkat. Saya
juga mendapat surat keterangan dari guru pelaku, serta mendengar keterangan ke
pala desa yang pada pokoknya menerangkan bahwa pelaku berkelakuan baik dan
masyarakat setempat tidak keberatan apabila si anak kembali ke desanya.
Singkat cerita, mediasi pada akhirnya berhasil mencapai kesepakatan antara para
pihak dan dapat meredam gejolak masyarakat antara warga kampung pelaku dan kor
ban.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, saya mengambil sikap untuk memutus
perkara berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak,
yaitu hukuman berupa tindakan untuk mengembalikan terdakwa kepada orang tua/
walinya di bawah pengawasan Bapas sampai terdakwa dewasa.