Mahkamah Agung Edisi 5 - page 34

32
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 5 Edisi September 2014
LAPORAN KHUSUS
pihak terkait seperti Bapas, penasihat hukum anak, serta
perwakilan masyarakat, untuk bersama-sama mencari al-
ternatif solusi bagi anak yang melakukan tindak pidana.
Sejak 1990 negara kita telah meratifikasi konvensi hak
anak. Dalam konvensi tersebut diamanatkan bahwa aparat
penegak hukum, dalam menangani perkara anak,
stress-
ing-
nya harus demi kepentingan terbaik bagi anak. Yang
diutamakan adalah pendekatan
restorative justice
. Da-
lam hal ini, keadilan ditekankan pada pemulihan. Yaitu,
pemulihan bagi pelaku, pemulihan bagi korban, pemu-
lihan kepada lingkungan masyarakat. Itulah tujuan dari
pendekatan
restorative justice
seperti yang tertera dalam
Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA).
Selain itu, ada lagi aturan Pasal 7 UU SPPA mengenai
kewajiban setiap aparat penegak hukum di setiap tahap­
an pemeriksaan perkara pidana, mulai dari tingkat pe­
nyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan di pengadilan.
Yaitu, mereka wajib melakukan diversi, pengalihan sistem
formal ke informal. Jadi, penanganan anak yang semula
melalui peradilan pidana dialihkan ke luar peradilan pi-
dana. Sebagai contoh, seorang anak mencuri
handphone,
ancaman pidananya hanya 5 tahun, maka menurut keten-
tuan wajib diversi.
Mediasi Penal
Ketika UU SPPA ini belum berlaku, dari tahun 2010
sampai sekarang, yang saya lakukan adalah mengimple-
mentasikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mah-
kamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri
Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Perberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak tanggal 22 Desember
2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan
Hukum. SKB ini sudah mengamanatkan aparat penegak
hukum melakukan pendekatan
restorative justice
. Untuk
perkara-perkara yang berkualifikasi ringan, saya terapkan
SKB tersebut. Salah satu cara penerapannya ialah ketika
pemeriksaan terdakwa anak telah selesai dan seluruh un-
sur telah terbukti, maka sebelum Penuntut Umum mel-
akukan tuntutan, kami melakukan musyawarah terlebih
dahulu. Musyawarah yang dinamakan mediasi penal ini
mempertemukan hakim, jaksa, orang tua korban, orang
tua terdakwa, tokoh masyarakat dan Bapas. Dengan ada­
nya mediasi, maka lahirlah suatu kesepakatan. Kesepa-
katan itu kemudian dibawa ke Penuntut Umum sebagai
bahan pertimbangan untuk tuntutan.
Musyawarah adalah wujud pendekatan
restorative jus-
tice
. Outputnya keadilan yang memulihkan. Siapa yang
dipulihkan? Yang dipulihkan adalah pelaku, korban, dan
masyarakat.
Sudah lebih dari 20 perkara yang dapat saya selesaikan
dengan cara pemulihan melalui mediasi penal. Mediasi
penal diadakan sebelum tuntutan, sehingga pada saat tun-
tutan, jaksa telah mempertimbangkan hasil musyawarah.
Tuntutan itu dapat berupa tindakan. Sudah diatur dalam
UUNo. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalamPasal
24, hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa tindakan.
Jadi, kalau terbukti bersalah, tidak harus hukuman penjara.
Saya selalu mengusahakan penjatuhan pidana berupa tin-
dakan, tergantung pada berat ringannya perkara.
Tetapi ada juga kelemahan dalam penerapan huku-
man berupa tindakan. Kalau kita tiba-tiba menjatuhkan
hukuman berupa tindakan tanpa melakukan musyawarah
atau mediasi penal, hal itu berpotensi menimbulkan fit-
nah. Hakim akan dicela dan dianggap tidak adil.
Ketua PN Cibinong bersama staf
1...,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33 35,36,37,38,39,40,41,42,43,44,...92
Powered by FlippingBook