Mahkamah Agung Edisi 3 - page 51

BUKU
- No. 3 Edisi Desember 2013
|
49
tris sangat kental dan berpengaruh pula pada sejarah
peradilan di Indonesia.
VI. Peradilan pada Masa Pemerintahan Pran­
cis
(hlm. 83-98). Ketika Prancis menguasai Belanda, Na-
poleon Bonaparte mengangkat Herman Willem Daendels
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels
banyak melakukan perubahan peradilan kala itu. Misalnya
lembaga pengadilan yang menyelesaikan perkara-perka-
ra yang berhubungan dengan agama, dan yang bersifat
ringan dihapuskan.
VII. Peradilan pada Masa Pemerintahan Ing­
gris
(hlm. 99-117) yang saat itu dipimpin oleh Raffles.
Ia menemukan bukti-bukti keadaan hukum peradilan
peninggalan VOC dan Daendels. Dari bukti-bukti terse-
but akhirnya Inggris berkesimpulan bahwa mereka harus
segera memperbaiki keadaan dan menyederhanakan
struktur pengadilan dengan menghapus beberapa lemba-
ga yang ada. Pada masa ini, Pemerintah Inggris membuat
perjanjian dengan Belanda, yaitu mengembalikan daerah
kekuasaan Belanda. Perjanjian tersebut dinamakan de­
ngan Konvensi London.
VIII. Peradilan padaMasa Hindia Belanda
(hlm.
119-152). Beberapa bulan setelah Konvensi London, Pe-
merintah Belanda pun mengeluarkan regeringsreglement
yang mengatur mengenai bentuk pemerintahan di Hindia
Belanda, termasuk memuat kebijakan mengenai hukum
dan peradilan. Pada masa Hindia Belanda, hukum dan
peradilan yang diterapkan sarat akan diskriminasi atas ras
dan agama hingga akhirnya terjadi Perang Dunia II yang
menyebabkan Hindia Belanda menyerah dan kekuasaan
dikendalikan oleh Jepang.
IX. Peradilan pada Masa Pendudukan Je­
pang
(hlm. 153-158). Peraturan perundang-undangan
semasa Hindia Belanda tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara
Dai Nippon. Jepang membentuk pengadilan-pengadilan
yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana
dan perdata, serta lembaga kejaksaan. Sistem hukum dan
peradilan yang diterapkan Jepang tidak banyak memba-
wa pengaruh terhadap hukum dan peradilan di Indonesia.
X. Peradilan pada Masa Setelah Proklamasi
Kemerdekaan
(hlm. 159-167). Setelah Jepang meng­
alami kekalahan perang dan menyerah kepada sekutu. In-
donesia masuk ke dalam fase proklamasi kemerdekaan.
Pada masa ini susunan peradilan yang ada di masa pen-
dudukan Jepang yang merupakan kelanjutan dari masa
Hindia Belanda tetap diteruskan.
XI Peradilan pada Masa Sesudah Peng­
akuan Kedaulatan.
Setelah pengakuan kedaulatan,
dikeluarkanlah Undang-undang Darurat nomor 18 tahun
1950 tanggal 17 April 1950 tentang Penghapusan Peng­
adilan-Pengadilan Landgerecht dan appelraad. Kemudian
dibentuklah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di
Jakarta. Daerah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta di­
atur dalam Undang-Undang darurat Nomor 1 Tahun 1953
yang meliputi daerah hukum segala Pengadilan Negeri
daerah Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan bekas Ka-
residenan Kalimantan Barat. Daerah hukum Pengadilan
Tinggi Jakarta berubah dengan dibentuknya Pengadilan
Tinggi Pontianak, Pengadilan Tinggi Palembang, dan
Pengadilan Tinggi Bandung. Sementara pelayanan hu-
kum untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta semakin be-
rat. Pengadilan Negeri yang ada tidak sanggup lagi untuk
melayani permasalahan hukum yang ada. Pada tahun
1978 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor
JB.1/1/3 Tanggal 23 Maret 1978 memecah tiga Peng­
adilan Negeri menjadi lima Pengadilan Negeri (PN). Yaitu
PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Barat, PN Jakarta Selatan,
PN Jakarta Utara, dan PN Jakarta Timur. Keadaan inilah
yang berlaku hingga sekarang.
XII Penutup.
Sejarah peradilan di Jakarta tentunya
telah mengalami kurun waktu yang sangat panjang dan
diperkirakan lebih dari dua milenium, serta tidak terlepas
dari sejarah perkembangan sistem hukum, politik, di­
namika sosial, dan sejarah peradaban bangsa. Sejarah
mencatat, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
kaya akan pengalaman, khususnya di bidang peradilan,
mulai dari peradilan dengan sistem hukum Hindu, Budha,
Islam, Eropa Kontinental, dan Anglo Saxon (semasa di
bawah kekuasaan Inggris), sampai kepada bentuk sistem
peradilan nasional yang berlaku hingga saat ini dengan
mengikuti dinamika sejarah setelah kemerdekaan.
Secara fundamental pembentukan Pengadilan Ne­
geri dan Pengadilan Tinggi di Jakarta dilakukan segera
setelah pemulihan kedaulatan, lepas dari koloni Belanda.
Sehingga negara bebas menentukan sistem peradilan
yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, bersifat
demokratis, tidak diskriminatif, dilandasi semangat unifi-
1...,41,42,43,44,45,46,47,48,49,50 52,53,54,55,56,57,58,59,60,61,...92
Powered by FlippingBook