Mahkamah Agung Edisi 3 - page 70

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yang
dianut sejak lama dalam praktik peradilan ternyata MA te­
lah menerapkan adanya perbuatan melawan hukum mate-
riil baik dalam fungsi negatif maupun fungsi positif.
Konsekuensi logis dimensi demikian membawa suatu po-
larisasi pemikiran bahwa MA ingin menjatuhkan hukuman
sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang walau-
pun tidak diatur dalam UU akan tetapi karena praktik di
masyarakat dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela,
maka aspek demikian tidak dapat dibiarkan dan pelakunya
harus dijatuhi hukuman sesuai norma yang hidup dalam
masyarakat (living law) dengan tetap mempergunakan pa-
rameter asas keadilan.
Dikaji dari perspektif kebijakan pidana hakim selaku
pemegang kebijakan aplikatif harus menerapkan peratur-
an perundang-undangan. Oleh karena dimensi demikian
maka hakim tidaklah harus berarti menjadi penyambung
lidah atau corong UU (bousche de la loi/mouth of the laws)
akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter
dan mengimplementasikan peraturan tersebut yang ma-
sih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit. Konsekuensi
logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu sisi per-
buatan korupsi secara formal (perbuatan melawan hukum
formal) tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara mate-
riil (perbuatan melawan hukum materril) ada maka hakim
sebagai kebijakan aplikasi harus menggali, memahami
dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di da-
lam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma
konteks di atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat,
menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, per­
aturan dibuat untuk suatu masyarakat dan juga tentu harus
menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan
kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hi­
dup (living law). Dalam paradigma modern sekarang dapat
disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup
dalam menara gading”.
Dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progre-
sif sebagaimana apa yang dikedepankan aliran fragmat-
ic legal realism atau realisme amerika inilah yang coba
dikedepankan oleh MA Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal
16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin dan
Putusan MA Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober
2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira
SH. Esensi krusial putusan tersebut hakikatnya tetap
mempertahankan dan menerapkan perbuatan melawan
hukum materiil dalam perkara tipikor pasca Putusan MK
Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya
terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor
31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Konklusi
Dikaji dari perspektif normatif berdasarkan keten-
tuan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 maka tipikor bersifat extra ordinary crimes sehingga
diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra
ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa
pula (extra ordinary measures). Konsekuensi logis aspek
demikian hendaknya relatif tiada ruang dan dimensi suatu
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan UU, asas
kepatutan dan dianggap tercela oleh masyarakat tidak
dilakukan suatu tindakan hukum. Oleh karena itu, perbuat­
an melawan hukum materiil dalam yurisprudensi baik da-
lam fungsi negatif maupun yang diterapkan oleh MA pasca
Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
mengalami keadaan “mati suri”. Akan tetapi berdasarkan
Putusan MA Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus
2006 dan Putusan MA Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13
Oktober 2006 maka penerapan perbuatan melawan hu-
kum materiil seolah terasa “hidup kembali”. Tugas, fungsi
dan peranan hakim asasnya memberikan keadilan karena
itu UU memberi independensi kepada hakim ketika memu-
tus perkara dan doktrin memberikan cara dengan melaku-
kan penafsiran dan penemuan hukum guna pembentukan
hukum baru yang diterapkan pada kasus konkrit (
law
in concreto
). Hakim bukanlah sebagai penyambung li-
dah atau corong UU (
bouche de la loi/mouth of the
laws
), akan tetapi Hakim hendaknya harus mempunyai
dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progresif se­
perti yang dikedepankan aliran fragmatic legal realism atau
realisme amerika. Sekarang terpulang kepada Hakim yang
bersangkutan, apakah akan memutus sesuai yurisprudensi
ataukah tidak karena secara normatif, teoretis, doktrin dan
praktik peradilan jurisprudensi di Indonesia tidak bersifat
sebagai “
the binding force of precedent
” akan tetapi
relatif bersifat sebagai “
pressuasieve precedent
”.
KOLOM
- No. 3 Edisi Desember 2013
68
|
1...,60,61,62,63,64,65,66,67,68,69 71,72,73,74,75,76,77,78,79,80,...92
Powered by FlippingBook