Mahkamah Agung Edisi 3 - page 69

KOLOM
- No. 3 Edisi Desember 2013
|
67
an Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain
menentukan penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi
pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma
tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelas-
an hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma
yang diatur dalam batang tubuh sehingga penjelasan
sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh,
tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan nor-
ma yang dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat di-
gunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan
lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan dihindari
rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung ter-
hadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkut­
an.
Ketiga, MK menilai memang terdapat persoalan kon-
stitusionalitas dalam kalimat pertama penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Ta-
hun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
mengakui dan melindungi hak konstitusional warga nega­
ra untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum
yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana
diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan
akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut
dan diadili atas dasar suatu perundang-undangan yang
tertulis (lex scripta) yang telah ada terlebih dahulu. Hal
demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki
unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih
dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau
akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat
yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipi-
dana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stric-
ta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara
formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan
pembuat UU untuk merumuskan secermat dan serinci
mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian
hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah
bestimmheitsgebot.
Keempat, MK berpendirian bahwa konsep melawan
hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan tit-
ik tolak pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan,
kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masya­
rakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan
ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu
lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat
lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tem-
pat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai
sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut
ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setem-
pat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat pertama
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan
dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat da-
lam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan de-
mikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Dikaji dari dimensinya perbuatan melawan hukum
materiil menjadi mati suri oleh Putusan MK. Akan teta-
pi dikaji dari praktik peradilan dalam beberapa putusan
MA hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan
melawan hukum materiil sebagaimana putusan MK dan
tidak sedikit pula ada yang tetap menerapkan perbuatan
melawan hukum materiil dengan melalui penafsiran dan
penemuan hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif
maupun konservatif. Pada dimensi ini hakim melakukan
pembentukan hukum dengan menetapkan peraturan se-
cara konkrit (law in concreto) atau tegasnya merupakan
suatu proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hu-
kum yang bersifat umum (law in abstracto) dengan meng-
ingat peristiwa konkrit.
Dari perspektif teoretis, praktik dan normatif putusan
MA pasca putusan MK tetap menerapkan perbuatan me­
lawan hukum materiil dikarenakan beberapa hal, yaitu:
Pasca putusan MK mengakibatkan perbuatan melawan
hukum materiil tidak diatur dan mempunyai landasan pi-
jakan sebagai payung hukumnya sehingga menjadi tidak
jelas secara normatif dan implementasinya. Tegasnya, di
satu sisi perbuatan melawan hukum materiil dalam per-
kara tipikor ada dalam kenyataan di masyarakat akan
tetapi di sisi lain secara normatif tidak diatur dalam per­
undang-undangan oleh karena payung hukum perbuatan
melawan hukum materiil sebagaimana penjelasan keten-
tuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 oleh Putusan MK Nomor 003/PUU-
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 sudah “diamputasi” karena
1...,59,60,61,62,63,64,65,66,67,68 70,71,72,73,74,75,76,77,78,79,...92
Powered by FlippingBook