KOLOM
- No. 3 Edisi Desember 2013
66
|
korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasili-
tas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang
lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan
kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada ja-
batannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan
“perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan
perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau per-
buatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.”
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan MA inilah
yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuris-
tis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu
pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak
putusan itu ajaran sifat melawan hukummateriil telah mem-
punyai fungsi positif dimana menurut ajaran umum hukum
pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan
dengan asas legalitas.
Jadi, putusan MA memberikan ruang dan dimensi
tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum ma-
teriil, baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila
dijabarkan, walaupun yurisprudensi tersebut bertitik to-
lak kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam
perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001,
ajaran perbuatan melawan hukum materiil tetap diperta
hankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan prak-
tik peradilan.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Ternyata dimensi perbuatan melawan hukum mate-
riil baik fungsi positif maupun fungsi negatif dalam tipikor
mengalami keadaan mati suri oleh Putusan MK Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Tegasnya, putusan
MK telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hu-
kum materiil. Apabila dideskripsikan secara global ada be-
berapa argumentasi sebagai ratio decidendi putusan MK
meniadakan nuansa perbuatan melawan hukum materiil
tersebut.
Pertama, penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) ka-
limat bagian pertama UU Nomor 31 jo UU Nomor 20 Ta-
hun 2001 yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara
melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti mate-
riil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuat
an tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”,
hakikatnya penjelasan pasal tersebut memperluas kate-
gori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak
lagi sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga
dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Konsekuensi lo-
gis dimensi demikian maka meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
formil dalam pengertian bersifat onwetmatig, namun apa-
bila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu
norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan se-
bagai perbuatan tercela sehingga telah melanggar kepatut-
an, kehati-hatian dan keharusan dalam masyarakat maka
dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (weder-
rechtelijk). Ukuran yang dipergunakan adalah hukum atau
peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rectsgevoel), nor-
ma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang ber-
laku di masyarakat telah cukup menjadi kretaria perbuatan
tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya dikaji
dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis pen-
jelasan UU tersebut telah melahirkan norma baru karena
digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal
untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Selain
itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kreta
ria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)
yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan
sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hu-
kum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima men-
jadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana
(wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan
memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui
dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah
ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di
satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum,
di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan me
lawan hukum.
Kedua, dikaji dari praktik pembentukan perundang-un-
dangan yang baik sebagaimana Putusan MK Nomor 005/
PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum,
penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi nor-
ma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan
norma baru, apalagi memuat substansi yang sama seka-
li bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Ketentu-