Mahkamah Agung Edisi 3 - page 68

KOLOM
- No. 3 Edisi Desember 2013
66
|
korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasili-
tas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang
lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan
kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada ja-
batannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan
“perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan
perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau per-
buatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.”
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan MA inilah
yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuris-
tis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu
pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak
putusan itu ajaran sifat melawan hukummateriil telah mem-
punyai fungsi positif dimana menurut ajaran umum hukum
pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan
dengan asas legalitas.
Jadi, putusan MA memberikan ruang dan dimensi
tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum ma-
teriil, baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila
dijabarkan, walaupun yurisprudensi tersebut bertitik to-
lak kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam
perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001,
ajaran perbuatan melawan hukum materiil tetap diperta­
hankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan prak-
tik peradilan.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Ternyata dimensi perbuatan melawan hukum mate-
riil baik fungsi positif maupun fungsi negatif dalam tipikor
mengalami keadaan mati suri oleh Putusan MK Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Tegasnya, putusan
MK telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hu-
kum materiil. Apabila dideskripsikan secara global ada be-
berapa argumentasi sebagai ratio decidendi putusan MK
meniadakan nuansa perbuatan melawan hukum materiil
tersebut.
Pertama, penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) ka-
limat bagian pertama UU Nomor 31 jo UU Nomor 20 Ta-
hun 2001 yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara
melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti mate-
riil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuat­
an tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”,
hakikatnya penjelasan pasal tersebut memperluas kate-
gori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak
lagi sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga
dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Konsekuensi lo-
gis dimensi demikian maka meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
formil dalam pengertian bersifat onwetmatig, namun apa-
bila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu
norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan se-
bagai perbuatan tercela sehingga telah melanggar kepatut-
an, kehati-hatian dan keharusan dalam masyarakat maka
dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (weder-
rechtelijk). Ukuran yang dipergunakan adalah hukum atau
peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rectsgevoel), nor-
ma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang ber-
laku di masyarakat telah cukup menjadi kretaria perbuatan
tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya dikaji
dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis pen-
jelasan UU tersebut telah melahirkan norma baru karena
digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal
untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Selain
itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kreta­
ria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)
yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan
sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hu-
kum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima men-
jadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana
(wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan
memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui
dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah
ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di
satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum,
di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan me­
lawan hukum.
Kedua, dikaji dari praktik pembentukan perundang-un-
dangan yang baik sebagaimana Putusan MK Nomor 005/
PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum,
penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi nor-
ma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan
norma baru, apalagi memuat substansi yang sama seka-
li bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Ketentu-
1...,58,59,60,61,62,63,64,65,66,67 69,70,71,72,73,74,75,76,77,78,...92
Powered by FlippingBook