Mahkamah Agung Edisi 3 - page 67

KOLOM
- No. 3 Edisi Desember 2013
|
65
Materiil” dalam Tipikor pada Putusan MA
Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi
perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum
perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan ter-
minologis maka perbuatan melawan hukum dalam baha-
sa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk”
dalam ranah hukum pidana dan terminologi “onrechtma-
tige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pe­
ngertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum
pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan den-
gan hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak
orang lain (met krenking van eens anders recht) dan ada
juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hu-
kum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak
(zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana, khususnya
terhadap perkara tipikor telah terjadi pergeseran pers-
pektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele
wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum
materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian seti-
ap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepa-
tutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap
tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan
hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil
tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian
luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum per-
data melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Janu-
ari 1919.
Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hu-
kum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materiil
dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putus­
an hakim). Konkritnya, yurisprudensi MA telah memberi
landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran da-
lam penanganan tipikor dari pengertian perbuatan mela-
wan hukum bersifat formal menjadi bersifat materiil yang
meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma
dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang
dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan,
terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”,
khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam
hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari
pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari
hukum perdata.
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui
yurisprudensi MA juga telah memberikan nuansa baru
perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi
dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna
menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggu-
naan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan teta-
pi juga MA dengan melalui yurisprudensinya melakukan
pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah
fungsi positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik beru-
pa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik
dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi
ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang
bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntung­
an dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan
delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh yurisprudensi MA yang
menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi
negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus
pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam Putusan MA No-
mor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama ter-
dakwa Machroes Effendi (kemudian diikuti pula Putusan
MA Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan MA
Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) dimana MA
berpendapat bahwa adanya 3 (tiga) sifat hilangnya unsur
(bestandellen) melawan hukum materiil sebagai alasan
penghapus pidana (yang tidak tertulis) berupa faktor ne­
gara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan ter-
dakwa tidak mendapat untung.
Sedangkan yurisprudensi MA yang berpendirian
perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif
terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983
tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S.
Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam Putusan MANo-
mor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan MA
Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995). Pada
asasnya, yurisprudensi MA ini pertimbangan putusannya
bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru
pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan
sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”,
Kemudian, yurisprudensi MA tersebut secara implisit
memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini
mengacu kepada pengertian melawan hukum materiil dari
fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan de­
ngan redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masya­
rakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana
1...,57,58,59,60,61,62,63,64,65,66 68,69,70,71,72,73,74,75,76,77,...92
Powered by FlippingBook