Mahkamah Agung Edisi 4 - page 44

42
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 4 Edisi Mei 2014
GENAP
dua tahun sebuah peristiwa penting terjadi da-
lam dunia peradilan di Indonesia. Hakim, sebuah profesi
“mulia” dalam institusi penegakan hukum, dipertaruhkan
harkat dan kewibawaannya. Ada gagasan di kalangan be-
berapa hakim muda untuk melakukan “mogok sidang”.
Mereka mengusung tema “Hakim Indonesia Menggu-
gat.” Sebuah tema yang cukup sensitif di saat masyarakat
sedang alergi pada para penegak hukum atas maraknya
kasus-kasus suap dan jual beli perkara di pengadilan.
Di balik tema besar tersebut mencuat ke permukaan
berbagai kenyataan pahit. Kehidupan sebagian hakim, se-
bagai pengadil, di Indonesia dalam kondisi yang mempri-
hatinkan. Bayangkan, gaji pokok hakim lebih rendah dari
gaji pokok PNS. Tunjangan jabatan tidak pernah meng­
alami kenaikan dalam kurun waktu sebelas tahun ter­
akhir. Kondisi rumah dinas para hakim tidak layak huni.
Dan hak-hak konstitusional lainnya pun tidak kunjung
direalisasikan oleh negara. Semua itu menjadi pemicu
munculnya gagasan aksi mogok sidang.
Kondisi kurang nyaman dalam bekerja menimbulkan
isu gerakan bersama yang didasarkan pada kepentingan
bersama. Gerakan itu dipelopori oleh seorang hakim
muda bernama Ahmad Sunoto. Ia memanfaatkan jejaring
sosial facebook yang dirintis Andy Nurvita, hakim Peng­
adilan Negeri Salatiga, pada 17 April 2011. Grup yang ter-
bangun dari jejaring itu dinamai “Rencana Peserta Aksi
Hakim Indonesia Menggugat Presiden dan DPR RI”.
Grup ini memiliki ide mengajak sejumlah hakim un-
tuk menggelar aksi demonstrasi dalam rangka memper-
juangkan kesejahteraan hakim. Rencana aksi ini kemudi-
an memicu pro-kontra dan gejolak di kalangan petinggi
MA. Lambat laun ide pergerakan tersebut mulai terendus
oleh media dan mulai memunculkan berita-berita kontro-
versial seperti ini:
“Karena tidak tersedia rumah dinas, hakim terpaksa
mengontrak rumah sederhana.”
“Jauh dari kampung halaman, karena ketiadaan rumah
dinas, hakim terpaksa tinggal di Mess Pengadilan dengan
kondisi seadanya.”
“Rumah dinas hakimyang tidak terpelihara dengan baik.”
Munculnya gerakan ini ke media menjadi alat
sosialisasi yang cukup efektif. Gerakan tumbuh sema­
kin massif. Banyak hakim, keluarga hakim, masyarakat,
LSM, dan tokoh nasional turut bergabung menjadi ang­
gota grup. Hingga 16 Juli 2011, anggotanya telah ber-
jumlah 5.334 orang.
Rupanya gerakan yang semakin nyata ini menimbul-
kan kekhawatiran di kalangan pimpinan di Mahkamah
Agung. Kamis, 21 April 2011, Andy Nurvita dan Teguh
Satya Bhakti dari PTUN Semarang diperiksa oleh Badan
Pengawasan Mahkamah Agung. Mereka diperiksa dalam
kapasitasnya sebagai inisiator demonstrasi.
Pemeriksaan tersebut tidak membuat surut gerakan.
Kendati telah diperingatkan, Teguh Satya Bhakti melan-
jutkan perjuangannya lewat jalur litigasi dengan meng­
ajukan
judicial review
ke Mahkamah Konstittusi (MK).
Ia mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ia meminta
agar MK menguji Pasal 6 ayat (1) yang dianggap sebagai
penyebab pengelolaan keuangan Mahkamah Agung tidak
independen. Pasal ini dinilai melanggar prinsip kekuasa­
an kehakiman yang merdeka, karena telah mengesamp-
ingkan esensi kemandirian kekuasaan kehakiman dalam
mengelola anggaran sendiri. Padahal, menurut Pasal 81A
UUNo 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, seharus­
nya MA-RI memiliki hak otonom untuk mengelola ang-
garannya sendiri.
Ketika Pengadil Menuntut
Hak Konstitusional
Oleh D.Y. Witanto* dan Sunoto**
BERANDA
Rumah dinas hakim yang tidak terpelihara
1...,34,35,36,37,38,39,40,41,42,43 45,46,47,48,49,50,51,52,53,54,...84
Powered by FlippingBook