Mahkamah Agung Edisi 5 - page 67

Nomor 5 Edisi September 2014 –
MAHKAMAH AGUNG
65
Malapraktik dokter merupakan kelalaian atau keal-
paan profesional (
professional negligence
) yang dilakukan
seorang dokter, baik dengan cara berbuat atau tidak ber-
buat sesuatu. Terdapat empat elemen untuk terpenuhinya
tindakan malapraktek yang dapat diberikan sanksi pidana
(kriminalisasi), yakni:
Pertama,
kewajiban hukum (
legal duty
) yang di-
dasarkan pada norma dan standar pelayanan yang telah
digariskan profesinya atau yang telah ditetapkan dalam
undang-undang.
Kedua,
pelanggaran terhadap kewajib-
an hukum (
break of duty
) itu oleh dokter; dalam hal ini,
dokter gagal atau tidak melakukan atau tidak memenu-
hi standar pelayanan yang ditentukan profesinya.
Ketiga,
pelanggaran itu telah menyebabkan terjadinya cedera
(
causation
). Hubungan sebab-akibat ini harus nyata dan
layak dapat diduga seorang dokter, baik dalam bentuk
berbuat atau tidak berbuat, yang sering disebut sebagai
kausa yang bernilai hukum (
legal cause
atau
proximate
cause
).
Keempat,
pembuktian mutlak adanya kerugian
(
damage
) aktual terhadap kepentingan pasien akibat pe­
langgaran standar pelayanan, baik kerugian ekonomis
maupun non-ekonomis (cedera fisik mulai cacat sampai
dengan kematian).
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 ter-
dapat bentuk pelanggaran dalam profesi dokter yang da­
pat dikenai sanksi pidana, yaitu:
Pertama,
pelanggaran terhadap surat registrasi dokter,
yang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (sera-
tus juta rupiah) (Pasal 75).
Kedua,
pelanggaran terhadap persyaratan untuk
memiliki surat izin praktek yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan (Pasal 36).
Ketiga
, pelanggaran yang berkaitan dengan prosedur
pelayanan, yaitu: pelanggaran yang berkaitan dengan
prosedur pelayanan mengenai papan nama dokter, pem-
buatan rekam medis, dan kewajiban-kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta kebu-
tuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabi-
la tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya ten-
tang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikema-
nusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang ber-
tugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan danmengikuti perkem-
bangan ilmu kedokteran.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004, jelas terdapat tindakan dokter yang dapat
dipidana. Oleh karena itu, tugas jaksa penuntut umum ada-
lah membuktikan adanya pelanggaran terhadap kewajiban
dokter itu. Untuk memperkuat dalil-dalil dalam pembuk-
tian, maka keterangan ahli sesama dokter yang memahami
standar prosedur profesi sangatlah penting. Di samping itu,
diperlukan hakim-hakim yang memahami hukum kese-
hatan atau kedokteran, atau memiliki spesialisasi di bidang
hukum kesehatan atau kedokteran.
Restorasi Hukum Pidana Medik
Pertanyaan penting patut dikemukakan berdasarkan
pengalaman dr. Ayu dkk. Yaitu, pada sisi mana kita me­
lakukan restorasi hukum medik? Di mana letak perso­
alannya?
Jelas terlihat satu sisi penting, yaitu faktor kurangnya
pemahaman aparatur hukum, baik polisi maupun jaksa,
dalam memproses kasus-kasus hukum medik.
Secara legal formal, Undang-Undang tentang Praktek
Kedokteran dan Undang-Undang tentang Rumah Sak-
it telah mengatur sanksi pidana terhadap dokter. Tugas
hakim adalah menemukan hukum yang tepat dan adil
untuk suatu kasus tertentu.
Keputusan hakim diambil atas prinsip kemandirian
dan imparsialitas hakim. Kunci dari kemandirian dan im-
parsialitas hakim dalam penegakan hukum dan keadilan
ada dalam putusannya. Oleh karena itu, putusan hakim
adalah mahkota hakim. Suatu putusan haruslah mencer-
minkan aspek keadilan.
Sayangnya, akhir-akhir ini, putusan hakim, termasuk
pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, sering
mendapatkan sorotan publik, diukur dari rasa keadilan
masyarakat. Dalam kasus tertentu, seperti kasus korupsi,
terdapat putusan Mahkamah Agung yang memperber-
at sanksi pidana kepada pelaku tipikor. Pada kasus lain,
seperti dalam kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.
Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendry Siagian, MAmelalui
putusan PK membebaskan ketiga dokter tersebut yang
sebelumnya dihukum 3 (tiga) bulan penjara oleh Majelis
Kasasi. Putusan ini menjadi isu penting dalam penegakan
hukum dan keadilan di Indonesia.
KOLOM
1...,57,58,59,60,61,62,63,64,65,66 68,69,70,71,72,73,74,75,76,77,...92
Powered by FlippingBook