Mahkamah Agung Edisi 5 - page 68

66
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 5 Edisi September 2014
Keadilan mengandung nilai-nilai universal pada ting-
kat emosi atau perasaan setiap manusia, sekalipun tidak
dapat memberikan pengertian secara jelas.
Justice is not
something you can see. It is not temporal but eternal. How
does man know what is justice? It is not the product of
his intelect but his spirit
(Keadilan bukanlah sesuatu yang
dapat dilihat. Keadilan tidak bersifat sementara tetapi
abadi. Bagaimana orang dapat mengetahui keadilan itu?
Keadilan bukanlah hasil dari intelektual manusia, teta-
pi dari jiwanya (J. Djohansyah 2007 dalam A. Tumpa,
2012).
Hakim, dalammemeriksa danmemutus perkara, berpe-
gang pada 2 (dua) pokok, yaitu hukum formil dan hukum
materil. Hukum formil mengatur tata cara memeriksa dan
mengadili suatu perkara, sedangkan hukum materil meng-
atur mengenai akibat hukum dari suatu hubungan hukum
atau suatu peristiwa hukum. Kedua aspek tersebutlah yang
menjadi acuan hakim dalam memutus perkara.
Walaupun para hakim sudah mendapatkan panduan
dari aspek hukum formil dan materil, namun dalam prak-
teknya bukan berarti tanpa kesulitan. Sebab, norma hu-
kum formil dan materil pun seringkali belum sesuai den-
gan kebutuhan dalam memutus suatu perkara. Dalam hal
ini, hakim akan dipengaruhi oleh berbagai pandangan,
yaitu pandangan legisme hukum atau legal positivistis
yang terlalu bersandar pada bunyi undang-undang demi
kepastian hukum semata. Pandangan legisme hukum ini
seringkali akan mengabaikan keadilan secara substan-
tif. Di sinilah peran hakim untuk melakukan penemuan
hukum berdasarkan kewenangan “diskresioner” yang di-
milikinya, yang dibangun atas prinsip kemandirian dan
imparsialitas.
Kemandirian dan imparsialitas ini penting. Sebab,
sesungguhnya prinsip inilah yang meringankan beban
seorang hakim. Kalau hakim memutus suatu perkara tan-
pa ada intervensi dari siapapun, maka hakim memutus
suatu perkara tanpa merasa dibebani kepentingan terten-
tu. Oleh karena itu, prinsip kemandirian dan imparsial-
itas bukan saja melindungi para pencari keadilan, tetapi
juga para hakim. Hakim yang memegang teguh prinsip
kemandirian dan imparsialitas akan menjalankan tugas
dan fungsinya dengan leluasa dan tanpa beban. Sebalikn-
ya, apabila ia memutus suatu perkara di bawah interven-
si atau berpihak, maka putusannya akan menjadi beban
baginya sendiri.
Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, acuan penting
bagi hakim dalam memutus perkara yang adil didasar-
kan pada pemikiran bahwa manusia (yang membutuhkan
keadilan) haruslah menjadi subyek dari hukum, bukan
KOLOM
sebaliknya. Melalui ajaran “hukum progresif ” hakim ha-
ruslah mendekonstruksikan hukum yang sesuai dengan
permasalahan hukum yang ada. Bukan sebaliknya, men-
cocokkan masalah dengan hukum yang sudah ada. Arti­
nya, dalam menghadapi kasus-kasus
in konkrito
, hakim
harus mampu menyeleraskan antara keadilan prosedural
dan keadilan substansial. Hakim diberi “senjata” interpre-
tasi, konstruksi hukum (
analogi
dan
argumentum a con-
trario)
atau penghalusan hukum
(recthsvervijning
).
Dalam proses pembangunan hukum yang lebih adil di
kemudian hari, maka putusan pengadilan haruslah men-
jadi acuan. Kasus dr. Ayu dkk akan menjadi preseden bagi
penegakan hukum kesehatan di Indonesia di masa yang
akan datang dan sekaligus menjadi pelajaran berarti bagi
dokter dan pasien, khususnya dan pelaksanaan pelayanan
kesehatan nasional.
Perlindungan hukum diberikan, tidak hanya kepada
dokter dan rumah sakit, tetapi juga kepada masyarakat.
Sebab citra dan kualitas pelayanan kesehatan yang pro-
fesional sangat diperlukan dalam membangun sistem
pelayanan kesehatan nasional. Apalagi kita sedang meng-
hadapi tatanan ekonomi dan sosial global, yang juga ber-
dampak pada praktek kedokteran di Indonesia. Fenome-
na banyaknya pasien yang berobat ke luar negeri dengan
berbagai pertimbangan si pasien dan masuknya dokter
asing ke Indonesia dalam kerangka ASEAN dan perda-
gangan dunia menjadi tantangan tersendiri bagi profesi
dokter di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan pembenahan lembaga hu-
kum untuk memperkuat penegakan hukum kesehatan,
selain pemikiran yang mendorong polisi, jaksa dan
hakim mempelajari dan mendalami hukum medik, perlu
diperkuat kontribusi MKDI (Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia) melalui pemberian pertimbangan
hukum atas tindakan profesi para medis/dokter sebelum
dilaksanakannya penyelidikan dan penyidikan oleh Ke-
polisian terhadap proses penyelesaian kasus.
Apakah perlu dibentuk atau diangkat hakim
ad hoc
untuk menangani sengketa medik? Apakah perlu diang-
kat hakim
ad hoc
untuk menangani kasus-kasus tindak
pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan medik? Pe-
nulis berpendapat bahwa penanganan kasus-kasus tindak
pidana yang berkaitan dengan hukum medik cukup di-
tangani oleh hakim tetap yang memiliki keahlian di bi-
dang hukum medik, sebagaimana hakim yang menangani
kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak,
dengan terlebih dahulu hakim-hakim tersebut diberikan
diklat (pendidikan dan pelatihan) untuk memperoleh ser-
tifikasi di bidang hukum medik.
1...,58,59,60,61,62,63,64,65,66,67 69,70,71,72,73,74,75,76,77,78,...92
Powered by FlippingBook