Mahkamah Agung Edisi 5 - page 58

56
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 5 Edisi September 2014
kut dakwaan TPPU dengan mengemukakan pendapat:”
Jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU
berdasarkan pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU.
Pasal 74 hanya memberi wewenang kepada Jaksa KPK me­
lakukan Penyidikan TPPU. UU nomor 8 Tahun 2010 tidak
mengatur secara eksplisit apakah Jaksa KPK juga bisa mem-
proses Penuntutan TPPU, seharusnya Undang-Undang
TPPU memberikan kewenangan kepada Jaksa KPK secara
ekspilit untuk melakukan Penuntutan TPPU termasuk ke-
wenangan menunda transaksi, pemblokiran rekening dan
permintaan keterangan dari penyedia jasa keuangan ten-
tang keadaan keuangan tersangka/terdakwa sehingga tidak
hanya berdasarkan penafsiran saja”.
Namun di lain pihak, di dalam kasus Tipikor dengan
tersangka/terdakwa berbeda, Pengadilan Tipikor Jakar-
ta pernah memutus perkara TPPU yang dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yakni dalam kasus tipikor
pengadaan alat simulator SIM di Korlantas Polri dengan
terdakwa DS dan kasus Tipikor pembahasan anggaran
Dana Pembangunan Infrasruktur Daerah Tertinggal de­
ngan terdakwa mantan anggota DPR RI Waode N, dalam
kasus ini Majelis Hakim berpendapat Jaksa KPK ber-
wenang menuntut TPPU Predicat Crime Korupsi dengan
menggunakan penafsiran otentik UU TPPU dan UU ter-
kait lainnya.
Terhadap dualisme pandangan yang berbeda tentang
apakah Jaksa KPK berwenang menuntut perkara TPPU
ataukah tidak, penulis berpendapat Jaksa KPK berwenang
menuntut perkara TPPU dengan argumentasi:
Pertama,
sebagai konsekuensi pasal 2 ayat (1) huruf
(b) UU TPPU No.8 Tahun 2010, yakni TPPU dengan
Predikat Crime korupsi, maka sesuai dengan ketentu-
an Pasal 14 UU Tipikor No.31 Tahun 1999 jo UU No.20
Tahun 2001, KPK berwenang menuntut perkara TPPU
dengan dakwaan kumulatif, karena secara historis embrio
lahirnya Pengadilan Tipikor melalui UU No.46 Tahun
2009 adalah pasal 53 UU KPK No.30 Tahun 2002 (sudah
dibatalkan MK) di mana Pengadilan Tipikor awalnya me-
nerima limpahan perkara dari Jaksa KPK, sehingga logis
Jaksa KPK berwenang menuntut perkara TPPU.
Kedua,
Putusan Hakim Progresif dengan menerobos
positivisme hukum sangat dibutuhkan manakala norma
hukum positif dirasa tidak memadai guna mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.
Ketiga,
Pasal 50 ayat (3) UU KPK No.30 Tahun 2002
menyatakan: “Dalam hal KPK sudah mulai menyidik per-
kara Tipikor, Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang
lagi melakukan Penyidikan”. sehingga menjadi tidak efek-
tif dan tidak efisien manakala Penyidikan dan Penuntutan
Tipikor (sebagai Predicat Crime TPPU) sudah dilakukan
Jaksa pada KPK namun kemudian Penuntutan perkara
TPPU-nya diambil alih lagi atau dituntut oleh Jaksa pada
Kejaksaan.
Keempat,
Pendapat ahli/ pakar tentang TPPU, yakni
Dr.YunusHusein, S.H., LLM, yang jugamantanKepala Pu-
sat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
dalam seminar yang penulis ikuti tentang Money Laun-
dering kerjasama antara KPK dan Kehakiman Australia
di Semarang dari tanggal 20 Mei 2014 s.d tanggal 22 Mei
2014 beliau berpendapat bahwa Jaksa KPK berwenang
menuntut TPPU dengan alasan (dikutip dari makalah Dr.
Yunus Husein, S.H.LLM):
1)
Adalah benar UU TPPU Nomor 8 tahun 2010 tidak
menyebut secara jelas kewenangan KPK menuntut TPPU,
namun pasal 75 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU
menyatakan apabila dalam menyidik tindak pidana asal
(Predicate Crime ) “korupsi” ditemukan ada TPPU, maka
Penyidik (KPK) menggabungkan penyidikan tindak pida-
na asal dengan penyidikan TPPU (Concursus Realis) Da-
lam hal Penyidikan-nya digabung di mana KPK menuntut
tindak pidana asal (Korupsi) juga wajar menuntut perkara
TPPU-nya,
2)
Kalau penuntutan TPPU diserahkan kepada In-
stansi Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, sedangkan Pe-
nuntutan korupsi-nya oleh KPK, tidak efekti dan efisien,
bertentangan dengan prisip sederhana, cepat dan biaya
ringan dalam beracara sebagaimana amanat UU Pokok
kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009, dan terdakwa
juga akan diadili 2 kali dengan berkas berbeda sedangkan
materi perkaranya sangat berhubungan, sehingga kurang
memberikan kepastian hukum bagi terdakwa,
3)
Menyerahkan Penuntutan kepada lembaga Kejak-
saan tidak memiliki dasar hukum kuat, karena justru KPK
berwenang mengambil alih perkara korupsi yang sedang
ditangani Kepolisian atau Kejaksaan sesuai pasal 8 ayat (2)
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,
4)
Menurut para ahli hukum tujuan hukun adalah
keadilan (Justice), kemanfaatan (Utility) dan kepastian
hukum (Certainty), dari ketiganya, keadilan yang harus
didahulukan sebab hukum yang efisien yang merupakan
tujuan hukum,
5)
Dalam menyidik dan menuntut tindak pidana asal
(korupsi) dengan perkara TPPU, baik hukum formil
maupun hukum materiil digabungkan yang berasal dari
berbagai UU. Pasal 68 UU No.8 tahun 2010 tentang TPPU
menyatakan: “ Hukum Acara yang berlaku adalah hukum
KOLOM
1...,48,49,50,51,52,53,54,55,56,57 59,60,61,62,63,64,65,66,67,68,...92
Powered by FlippingBook