Mahkamah Agung Edisi 6 - page 40

38
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 6 Edisi Desember 2014
e
.
do
Dikisahkan, ketika Umar hendak membunuh Muham-
mad, justru ia mendapati kabar adik perempuannya telah
masuk Islam dan sedang membaca Al-Qur’an. Ia murka
dan memukul sang adik. Tetapi, sang adik tetap membaca
Al-Qur’an, meski Umar berkali-kali meminta berhenti.
Umar pun menampar sang adik hingga berdarah. Umar
kagum akan keteguhannya. Ia pun berusaha membacan-
ya. Umar lalu menangis dan gemetar akan kekuatan ba-
hasa Al-Qur’an. Dengan segera ia menemui Muhammad
dan menyatakan keislamannya. Setelah Umar masuk Is-
lam, dakwah Muhammad yang biasanya sembunyi-sem-
bunyi kemudian dilakukan terang-terangan.
Umar bersama Abu Bakr menjadi orang yang sering
diajak berdiskusi oleh Nabi untuk menentukan kebija-
kan-kebijakan bangsa. Nabi membudayakan diskusi dan
musyawarah. Abu Bakr yang lemah lembut dan Umar
yang keras sering berbeda pendapat dalam berargumen-
tasi dengan Nabi. Umar selalu berada di garis yang pal-
ing kritis. Wajar, di zaman pemerintahan Khalifah Umar
(634–644 Masehi), Islam berkembang pesat.
Tanpa Pandang Bulu
Bagi Umar, hukum selalu berakibat kepada terciptanya
keadilan, karena itu hukum yang adil harus terus diteg-
akkan. Umar tak ragu memenjarakan anaknya karena
bersalah, bahkan sang anak kemudian meninggal dalam
penjara. Ia juga menolak keluarganya masuk daftar calon
penggantinya.
Umar mampu mengalahkan Persia dan Romawi dan
membebaskan Irak dan Syam dari cengkeraman kedua
bangsa itu. Akan tetapi, Umar selalu membebaskan bang-
sa yang ditaklukkan untuk memeluk agama sesuai dengan
keinginan masing-masing. Umar memang dikenal sebagai
pemimpin Islam yang amat menghargai perbedaan.
Ia juga tak menyambut kekuasaan dengan suka cita,
tetapi menganggapnya sebagai ujian. “Saudara-saudara!
Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak kare-
na segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah, saya pun
akan enggan memikul tanggung jawab ini. Tuhan akan
menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan
kalian,” katanya pada pidato pelantikannya.
Segera setelah menyampaikan pidato penetapannya,
Umar langsung menjalankan wasiat Abu Bakr untuk mo-
bilisasi pasukan menuju Irak. Ketika itu, pimpinan militer
pasukan muslimin dipimpin oleh jenius perang dan ahli
militer, Khalid bin Walid yang bergelar Saifullah (Pedang
Tuhan). Namun demikian, Umar mencopot Khalid kare-
na tak berdisiplin dalam menjalankan tugas.
Bersumpah demi Rakyat
Di masa Umar, pernah terjadi bencana kelaparan di
seluruh Semenanjung Arab, dan wabah Amawas mel-
uas dari Syam sampai Irak. Umar pun bersumpah tidak
akan makan daging atau minyak samin sampai bencana
kelaparan ini berakhir. Umar berkata, “Bagaimana saya
dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut
merasakan apa yang mereka rasakan?” Ucapannya itu be-
nar-benar ia buktikan.
Untuk menjaga distribusi keadilan di semua daerah
pemerintahannya, dengan sangat hati-hati, Umar memi-
lih orang-orang terbaik sebagai pejabat dan hakim (qadi).
Harta kekayaan calon pejabat diperiksa. Jika mengalami
penaikan tinggi, mereka bisa dicurigai melakukan korupsi.
Umar rutin mengawasi para pejabatnya dan tidak se-
gan memecat mereka yang dianggap menyimpang dan
tidak adil. Ia sangat memahami fikih dan ilmu syariat,
sehingga banyak sejarawan menilai kemampuannya sulit
ditandingi, termasuk para hakim sendiri.
Karena keberanian, kejujuran, keadilan, penguasaan
yang mendalam atas fikih, juga luasnya pengetahuan, di
masa Khalifah Umar (634–644 Masehi) Islam berkembang
sangat pesat. Musyawarah dijadikan dasar hukum. Kaum
Muhajirin dan Ansar sangat sering diajak diskusi secara
khusus oleh Umar. Tetapi, ia juga membuka musyawarah
umum dengan mengundang mereka ke masjid. Semua
orang berhak untuk bicara dan memberikan pendapat.
Selalu Hadir
Umar adalah contoh pemimpin yang bersung-
guh-sungguh memerintah, selalu hadir di tengah masa-
lah untuk memecahkannya. Kejujurannya tak tertandin-
gi, sehingga di dalam Hadis Syarif disebut,”Tuhan telah
menempatkan kebenaran di hati dan lidah Umar.” Ia
juga menjadikan cintanya kepada keluarga sebagai sara-
na penegakan hukum. Baginya, jika anggota keluarganya
melanggar hukum, hukumannya dua kali hukuman orang
biasa. Kepekaannya yang tinggi terhadap rakyat membuat
ia lupa mengurus dirinya.
Bagi keluarga besar Mahkamah Agung, terutama para
hakim (agung) sebagai “gerbang terakhir keadilan di
muka bumi”, Umar mestinya menjadi inspirasi keadilan.
Jauh dari kepentingan pribadi, apalagi memutus perkara
demi imbalan materi. Karena itu, buku ini masih amat
layak dibaca, justru karena keadilan belum menjadi milik
seluruh bangsa ini. Salam.
Gibran Tabamas Sudradjat
*Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia
BUKU
1...,30,31,32,33,34,35,36,37,38,39 41,42,43,44,45,46,47,48,49,50,...80
Powered by FlippingBook