Mahkamah Agung Edisi 4 - page 64

62
MAHKAMAH AGUNG
– Nomor 4 Edisi Mei 2014
lang? Persoalan ini perlu penegasan dalam revisi Buku II,
sebagai acuan bagi hakim.
Selain itu, Buku II masih mengacu pada Peraturan
Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2006, tanggal 30 Mei
2006. Padahal aturan ini sudah diubah dengan Peratur-
an Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010, tanggal 23
April 2010, sebagaimana diubah dengan Peraturan Men­
teri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Peruba-
han atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, yang berlaku mulai 6 Oktober 2013.
Hal lain lagi menyangkut konsinyasi dalam pengadaan
tanah bagi kepentingan umum. Dalam praktek peradilan,
pengadilan negeri sering menerima konsinyasi model ini,
akibat tidak tercapai kesepakatan mengenai bentuk dan
jumlah ganti rugi antara pemilik tanah dan instansi yang
membutuhkan. Di satu sisi, pemilik/pemegang hak atas
tanah menginginkan harga tertinggi sesuai dengan harga
pasar. Di sisi lain, pihak yang membutuhkan tanah meng­
acu pada patokan harga yang ditentukan panitia pen-
gadaan tanah, yang cenderung mengacu pada nilai jual
objek pajak di lokasi tanah tersebut.
Dalam pasal 39 UUNo.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dise-
butkan bahwa dalam hal pihak yang berhak menolak ben-
tuk dan atau besarnya ganti rugi namun tidak mengajukan
keberatan ke pengadilan negeri, maka secara hukum pihak
yang berhak dianggapmenerima bentuk dan atau ganti keru-
gian. Pada prinsipnya, dengan adanya penitipan/konsinyasi
ke pengadilan, maka kepemilikan atau hak atas tanah dari
pihak pemilik tanah semula menjadi hapus. Tanah tersebut
akan menjadi tanah negara dan langsung dapat digunakan
untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Persoalan­
nya, kerap pihak pemilik tanah dan bangunan tidak bersedia
mengosongkan lokasi yang sudah dibebaskan. Dalamhal de-
mikian, apakah pengadilan negeri bolehmelakukan eksekusi
mengosongkan? Jelas ini bukan kewenangan pengadilan lagi.
Mengenai hal ini, perlu pengaturan soal pemeriksaan
keberatan atas penetapan bentuk dan /atau besar ganti rugi.
Dalam pemeriksaan keberatan, hakim dapat mendengar-
kan pendapat ahli sebagai perbandingan penilaian ganti
kerugian. Keberatan ini pun harus diputus dalam jang-
ka waktu 30 hari. Pihak yang keberatan terhadap putusan
pengadilan negeri dapat mengajukan kasasi ke MA.
Tetapi, perlu penegasan apakah pengajuan keberatan
itu dalam bentuk permohonan atau gugatan. UU a quo
menggunakan terminologi putusan, berarti dapat ditaf-
sirkan sebagai bentuk gugatan. Kalau gugatan, apakah
penentuan waktu 30 hari cukup memadai? Sementara itu,
Buku II hanya mengatur lembaga konsinyasi, sebagaima-
na dimaksud dalam pasal 1404 s/d 1412 KUHPerdata.
Persoalan hukum lain yang sering dihadapi dalam
praktik di pengadilan negeri adalah lembaga
dwangsom
(uang paksa) yang belum terindentifikasi dengan jelas
dalam Buku II. Persoalannya, dalam hal apa
dwangsom
dijatuhkan dan sejak kapan perhitungan pelaksanaannya,
itu tidak dijelaskan. Untuk menemukan jawaban hakim
harus mencari berbagai literatur maupun yurisprudensi.
Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi akan lebih baik
bila materi itu berikut cara penerapannya diatur kembali
dalam Buku II untuk membantu hakim.
Di bidang pidana, sebagai contoh, Buku II masihmeng­
acu pada UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Padahal,
UU ini telah diperbarui dengan UU No. 5 Tahun 2010,
dengan pengaturan tenggang waktu permohonan grasi
yang lebih menjamin kepastian hukum. Seperti diketahui,
dalam UU No. 22 Tahun 2002, permohonan grasi tidak
dibatasi tenggang waktu. Akibatnya eksekusi atau pelak-
sanaan pidana mati menjadi tertunda sampai dengan
waktu yang tidak terbatas. Karena itu dalam UU No. 5
Tahun 2010, diatur batasan waktu pengajuan permohon­
an grasi, paling lama 1 tahun sejak putusan berkekuatan
hukum tetap.
Buku II juga belum mengatur penanganan perkara
kejahatan korporasi maupun petunjuk pemidanaannya.
Aturan tentang hal ini terasa sangat mendesak mengingat
dinamika hukum dewasa ini menghendaki penyelesai­
an kasus hukum yang dilakukan korporasi diajukan ke
pengadilan. Beberapa UU terkait telah memuat variabel
pidana kepada pelaku korporasi. Salah satu pidana yang
dapat dikenakan adalah pidana denda. Persoalannya, ka­
lau korporasi tidak membayar denda, apakah eksekusinya
dapat dilakukan seperti halnya dalam proses perdata, di
mana sebagian aset korporasi disita dan dijual lelang un-
tuk memenuhi pembayaran denda atau pidana denda itu
diganti pidana kurungan, seperti diatur dalam pasal 30
ayat (2) KUHP yang berlaku bagi pelaku subjek hukum
orang pribadi?
Substansi lain terkait hukum acara pidana. Buku II
masih berkutat dengan alat bukti konvensional, pasal
184 ayat (1) KUHAP. Padahal, alat bukti dalam proses
peradilan pidana kini mengalami perluasan, misalnya
transaksi elektronik atau dokumen elektronik (pasal 5 UU
No.11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elek-
tronik). Dalam perkara lingkungan,
scientific evidence
su-
dah merupakan alat bukti yang sangat menentukan dalam
proses pembuktian. Pada kasus kebakaran hutan, hasil
foto citra satelit sebagai salah satu
scientific evidence
turut
KOLOM
1...,54,55,56,57,58,59,60,61,62,63 65,66,67,68,69,70,71,72,73,74,...84
Powered by FlippingBook